(01)-kenangan yang hilang

18 9 4
                                    


HAPPY READING•

***

Repal menatap jam dinding yang berdetak pelan, suaranya seolah mengingatkannya pada setiap detik yang berlalu. Hari itu adalah hari biasa, tetapi rasanya tidak ada yang biasa ketika melihat ayahnya terbaring lemah di ranjang. Setiap kali ia melangkah ke dalam kamar, hatinya selalu dipenuhi rasa cemas yang tak tertahankan.

Ayahnya, adi, adalah sosok yang kuat dan penuh energi. Dulu, dia selalu bercerita tentang petualangan masa mudanya, bagaimana ia bisa menghadapi segala tantangan dengan senyuman. Sekarang, senyumnya itu hampir tak pernah terlihat. Repal merasa terasing di dalam rumah yang dulunya penuh tawa dan kehangatan.

Dengan pelan, Repal mendekat. Ia ingat ketika dia masih kecil, Ayahnya sering membawanya bersepeda ke taman. Mereka akan tertawa bersama, dan ayahnya akan memeluknya setelah jatuh dari sepeda, mengajarkan bahwa kegagalan adalah bagian dari belajar. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai terpisah. Kesibukan dan masalah pribadi membuat mereka jarang berbagi momen berharga seperti itu.

"Halo, Ayah," ucap Repal pelan, berusaha menunjukkan ketenangan yang tidak ia rasakan. Adi membuka matanya; meski lemah, ada sinar harapan dalam tatapannya.

"Repal, kamu sudah pulang?" suara ayahnya terdengar serak, tetapi nada kasih sayang masih terasa jelas.

"Ya, aku baru saja pulang sekolah," jawab Repal, berusaha tersenyum meski ada rasa sesak di dadanya. Mereka terdiam, dan Repal merasakan beban yang menggelayuti suasana. Ia ingin sekali mengungkapkan semua perasaannya, tetapi kata-kata terasa sulit keluar.

Setelah beberapa saat, ayah memandang Repal dengan penuh perhatian. "Kamu tahu, Repal, ketika aku sakit seperti ini, aku banyak berpikir tentang kita," katanya dengan suara pelan.

Repal mengangguk, hati dan pikirannya bergejolak. Kenangan-kenangan indah kembali menghampirinya, tetapi begitu banyak juga yang menyakitkan. Repal teringat betapa dulu mereka sering bercanda, bagaimana ayahnya selalu membuatnya merasa aman. Namun, seiring waktu, perasaan itu mulai memudar.

"Kadang, kita terlupa untuk saling mendengarkan. Aku berharap kita bisa memperbaiki semua itu," lanjut ayah, menatap Repal dengan harapan. Repal merasa air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin menjawab, tetapi lidahnya terasa kelu.

"Repal, ada yang ingin aku beritahukan," ayah melanjutkan, suara seraknya semakin lembut. "Ketika waktu semakin mendesak, aku hanya ingin kamu tahu betapa bangganya aku padamu. Kamu telah tumbuh menjadi sosok yang kuat dan mandiri."

Repal merasakan dadanya bergetar. "Ayah, aku... aku merasa kita kehilangan banyak waktu," ucapnya dengan suara bergetar. "Aku ingin sekali kembali ke masa-masa itu, saat kita bisa tertawa dan berbagi cerita."

Ayah mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Repal yang dingin. "Tapi kita masih memiliki waktu, Repal. Mari kita isi waktu yang tersisa ini dengan hal-hal yang berharga."

Repal menatap tangan ayahnya, teringat betapa hangatnya genggaman itu ketika mereka masih sering bersama. Kini, genggaman itu terasa semakin lemah, tetapi penuh makna. Repal menginginkan lebih dari sekadar kata-kata; ia ingin menghidupkan kembali momen-momen berharga itu.

"Bagaimana kalau kita mulai dengan cerita?" Repal berusaha tersenyum. "Ayah bisa cerita tentang masa muda ayah, atau tentang apa pun yang ayah inginkan."

Ayah tersenyum lemah, matanya berbinar. "Baiklah, tapi setelah itu kamu harus menceritakan tentang kehidupanmu di sekolahmu. Aku ingin tahu tentang teman-temanmu, dan apa yang kamu pelajari."

Repal merasa semangatnya kembali menyala. "Oke, kita mulai dari cerita pertama, ya?"

Selama beberapa jam ke depan, suara ayah perlahan mengisi ruangan, membawa kembali kenangan yang pernah ada. Meskipun ayah berbicara dengan suara yang lemah, kisah-kisahnya terasa hidup dalam benak Repal. Dia menceritakan bagaimana ia pertama kali jatuh cinta, bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan pekerjaan, dan momen-momen sulit yang pernah dilalui.

Dalam setiap cerita, Repal merasakan kedekatan yang hilang kembali terbangun, meskipun di tengah kesedihan dan kepedihan. Waktu berlalu tanpa terasa, dan seakan-akan mereka kembali ke masa lalu yang lebih cerah.

Namun, saat senja mulai merayap, Repal menyadari bahwa momen ini tidak akan bertahan selamanya. Ia merindukan lebih banyak waktu untuk berbagi tawa, untuk menyelesaikan semua yang belum sempat diungkapkan. Repal ingin meyakinkan ayahnya bahwa cinta mereka masih ada, meski terkadang terhalang oleh kesibukan dan kesalahpahaman.

"Repal," kata ayah pelan, menyadari bahwa saatnya semakin dekat. "Ingatlah, tidak ada yang lebih penting daripada cinta keluarga. Pelukan kita mungkin akan menjadi kenangan terakhir, tetapi itu akan selalu ada di hatimu."

Repal menahan napas, merasakan kesedihan yang dalam. Dia ingin sekali menjerit, ingin mengubah kenyataan ini, tetapi dia tahu bahwa tidak ada yang bisa dilakukan. Ia hanya bisa berharap untuk satu pelukan terakhir yang akan mengikat semua kenangan dalam hidupnya.

To be continued
Published:08,September,2024

Pelukan Terakhir [on-going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang