•HAPPY READING•
***
Seminggu setelah percakapan terakhirnya dengan Hilda, Repal berdiri di depan pintu galeri seni yang besar dan megah.
Sekali lagi, rasa ragu dan cemas menggelayuti hatinya. Namun kali ini, ada perbedaan yang halus namun terasa; ia tidak lagi merasa tertekan oleh harapan orang lain, tapi lebih kepada tanggung jawab untuk menyampaikan kisahnya—kisah tentang pelukan terakhir yang menggema di dalam jiwanya.
Ia menatap ke dalam galeri yang sudah dihias dengan karya-karyanya. Cahaya lembut menyinari setiap lukisan, memberikan nuansa yang intim dan penuh arti.
Karya-karyanya kini tidak lagi hanya tentang teknik atau estetika, tapi tentang perjalanan hidup dan kehilangan, tentang cinta yang terus hidup meskipun kematian telah memisahkan.
Di tengah-tengah galeri, terpampang karyanya yang paling pribadi—lukisan tangan yang saling menggenggam, penuh emosi dan kedalaman.
"Pelukan Terakhir", begitulah ia menamainya. Itu adalah inti dari seluruh perjalanan seninya, inti dari rasa sakit yang perlahan berubah menjadi kekuatan.
Saat Repal berjalan mengelilingi galeri, ia mendengar langkah-langkah seseorang mendekat.
Itu adalah Hilda, yang seperti biasa, selalu hadir di saat-saat penting. “Kau siap?” tanyanya dengan senyum lembut.
Repal menghela napas, lalu mengangguk.
“Aku tidak tahu apakah ini yang disebut siap, tapi aku sudah melakukan yang terbaik.”
Hilda tersenyum lebih lebar. “Itu sudah lebih dari cukup. Kau berhasil, Repal. Kau tidak hanya menunjukkan bakatmu, tapi juga hatimu. Dan itu yang membuat semua ini istimewa.”
Saat tamu-tamu mulai berdatangan, Repal merasa hatinya berdebar lebih kencang. Pameran ini berbeda dari yang sebelumnya. Setiap orang yang hadir tidak hanya datang untuk menikmati seni, tapi juga untuk memahami cerita di balik setiap lukisan.
Meskipun ia cemas, Repal tahu bahwa inilah momen di mana ia akan membuka dirinya sepenuhnya kepada dunia.
Seiring berjalannya waktu, galeri semakin ramai dengan orang-orang yang mengagumi karya-karyanya.
Beberapa orang berbicara dengan penuh kekaguman, sementara yang lain tampak terdiam lama di depan setiap lukisan, seolah mencoba menyelami setiap emosi yang tertuang dalam kanvas.
Repal mengamati semua itu dengan perasaan yang campur aduk. Namun, ketika ia melihat seorang ibu dan anaknya berdiri di depan lukisan "Pelukan Terakhir" dengan air mata mengalir di pipi mereka, Repal merasakan bahwa usahanya tidak sia-sia.
Tiba-tiba, seorang jurnalis mendekat, seorang wanita muda dengan wajah serius namun ramah.
“Tuan Repal, bolehkah saya bertanya tentang karya Anda? Apa yang menginspirasi Anda untuk membuat lukisan ini?”
Repal terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. Namun, sebelum kata-kata keluar dari mulutnya, ia menyadari bahwa jawabannya sudah jelas.
“Kehilangan,” katanya pelan namun tegas.
“Kehilangan orang yang kita cintai, dan bagaimana kita belajar untuk menerima kenyataan bahwa mereka mungkin tidak akan pernah kembali, tapi cinta mereka tetap ada di hati kita.”
Jurnalis itu tampak terkesan. “Itu sangat menyentuh. Apakah "Pelukan Terakhir" adalah pengalaman pribadi Anda?”
Repal tersenyum kecil, merasa air mata hampir menggenang di matanya, tapi ia menahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelukan Terakhir [on-going]
AcakDalam "Pelukan Terakhir," kita mengikuti perjalanan emosional seorang anak yang berjuang menghadapi kenyataan pahit ketika ayahnya didiagnosis dengan penyakit ginjal. Meskipun hubungan mereka pernah terjalin erat, konflik dan kesalahpahaman di masa...