•HAPPY READING•
***
Setelah pameran “Pelukan Dunia” berakhir, hidup Repal mulai bergerak dalam ritme yang lebih tenang, namun penuh dengan makna baru.
Ia kembali ke rumahnya, namun kali ini dengan hati yang lebih ringan dan visi yang lebih luas. Studio kecilnya kembali menjadi tempat di mana inspirasi mengalir, tetapi kali ini bukan hanya dari masa lalu, melainkan dari seluruh pengalaman hidup yang kini ia nikmati.
Pada suatu sore yang hangat, Repal menerima pesan dari seorang peneliti seni yang baru saja menyelesaikan tesis tentang karya-karya seniman yang menggunakan konsep cinta dan kehilangan sebagai tema sentral.
Peneliti itu meminta izin untuk mewawancarainya, karena karya Repal telah menjadi salah satu contoh paling kuat tentang bagaimana seni bisa menjadi jembatan antara duka dan harapan.
Awalnya, Repal merasa ragu. Meskipun ia telah berkarya selama bertahun-tahun, ia tidak pernah merasa bahwa dirinya layak menjadi objek penelitian.
Namun, Hilda yang selalu mendukungnya, mengatakan, “Ini adalah bentuk warisan, Repal. Setiap pelukis, penulis, atau seniman pada akhirnya meninggalkan jejak yang lebih besar dari yang mereka kira.”
Beberapa minggu kemudian, wawancara itu berlangsung. Peneliti muda itu sangat antusias, dan mereka berbicara tentang banyak hal—tentang proses kreatif Repal, tentang hubungan antara seni dan emosi, serta tentang bagaimana ia menemukan kekuatan dalam kehilangan ayahnya.
“Apa yang membuat Anda terus berkarya, bahkan setelah melalui momen-momen terberat dalam hidup Anda?” tanya peneliti itu.
Repal berpikir sejenak sebelum menjawab, “Karena seni adalah cara terbaik yang aku tahu untuk mengingat, untuk merasakan, dan untuk menghargai apa yang pernah ada. Setiap kali aku melukis, aku merasa seperti kembali berhubungan dengan ayahku, dengan kenangan-kenangan yang pernah kami bagi. Pelukan terakhir yang aku rasakan darinya mungkin secara fisik sudah berlalu, tapi dalam seni, pelukan itu akan selalu ada.”
Peneliti itu tersenyum, terkesan dengan jawaban Repal.
“Lukisan Anda seperti memiliki jiwa, seolah-olah ada emosi nyata yang tertanam di dalamnya. Apa yang ingin Anda sampaikan kepada mereka yang melihat karya Anda?”
Repal menjawab dengan tegas, “Aku ingin mereka tahu bahwa cinta dan kehilangan adalah bagian dari kehidupan yang paling indah dan sulit. Dan melalui seni, kita bisa menemukan cara untuk menyembuhkan, untuk menghargai, dan untuk melanjutkan hidup. Setiap goresan kuas adalah pengingat bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian.”
Hari-hari setelah wawancara itu dipenuhi dengan refleksi. Repal mulai menyadari betapa dalam pengaruh karyanya terhadap banyak orang, bahkan yang tidak pernah ia temui.
Ia menerima surat-surat dari orang-orang yang telah melihat lukisan “Pelukan Dunia,” dan beberapa dari mereka berbagi kisah pribadi tentang kehilangan dan bagaimana karya Repal membantu mereka memahami perasaan mereka sendiri.
Salah satu surat yang paling menyentuh hati datang dari seorang wanita tua yang kehilangan suaminya beberapa tahun lalu.
Dalam suratnya, ia menulis, “Lukisan Anda mengingatkan saya pada suami saya. Saya merasakan kehadirannya dalam warna dan bentuk yang Anda ciptakan. Terima kasih telah memberikan saya pelukan terakhir yang tidak pernah saya dapatkan.”
Membaca surat itu, Repal menangis. Ia tidak pernah membayangkan bahwa karyanya bisa memberikan kenyamanan sebesar itu bagi orang lain.
Pada saat itu, ia menyadari bahwa apa yang ia lakukan bukan hanya untuk dirinya sendiri atau untuk mengenang ayahnya, tetapi juga untuk semua orang yang pernah mengalami kehilangan dan sedang mencari cara untuk bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelukan Terakhir [on-going]
RastgeleDalam "Pelukan Terakhir," kita mengikuti perjalanan emosional seorang anak yang berjuang menghadapi kenyataan pahit ketika ayahnya didiagnosis dengan penyakit ginjal. Meskipun hubungan mereka pernah terjalin erat, konflik dan kesalahpahaman di masa...