(22)-Warisan Cinta

2 2 0
                                    

HAPPY READING•

***

Hari-hari setelah kepergian Repal terasa hampa bagi Aksa dan Putri. Mereka menjalani hidup dengan ritme yang sama, tetapi tanpa sosok Repal di samping mereka, rumah itu terasa berbeda.

Namun, di setiap sudut rumah, warisan Repal seolah hidup—dalam lukisan-lukisan yang ia buat, dalam senyum di foto-foto keluarga yang menghiasi dinding, dan terutama, dalam kenangan hangat yang tidak akan pernah hilang.

Aksa sering kali duduk di ruang tamu, menatap lukisan terakhir yang mereka buat bersama. Lukisan itu sekarang menggantung di dinding utama rumah, seolah-olah menjadi pengingat abadi tentang cinta yang mengikat mereka sebagai keluarga.

Setiap kali Aksa melihat lukisan itu, ia bisa merasakan kehadiran Repal—hangat, penuh kasih, dan selalu ada, meskipun tak lagi secara fisik.

Suatu hari, Aksa merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang besar. Ia menyadari bahwa lukisan yang mereka buat bersama tidak hanya merupakan kenangan pribadi, tetapi juga sebuah pesan yang lebih besar tentang cinta, keluarga, dan warisan yang abadi.

Maka, ia memutuskan untuk mengadakan sebuah pameran khusus untuk mengenang Repal, berjudul “Warisan Cinta."

Pameran ini bukan hanya tentang seni Repal, tetapi juga tentang perjalanan mereka sebagai keluarga seniman.

Aksa mengumpulkan semua lukisan terbaik ayahnya, termasuk karya-karya yang belum pernah dipamerkan sebelumnya.

Ia juga memasukkan beberapa karya miliknya, yang mencerminkan pengaruh besar Repal dalam hidup dan seninya. Puncak dari pameran itu tentu saja adalah lukisan terakhir yang mereka buat bersama, “Pelukan dalam Keabadian.”

Pada hari pembukaan pameran, ruangan penuh dengan para pengunjung—seniman, kolektor, dan teman-teman dekat keluarga mereka.

Di tengah keramaian itu, Aksa berdiri di depan lukisan utama, mengingat semua momen yang ia lalui bersama Repal.

Ia merasa campuran emosi—sedih, rindu, tetapi juga bangga dan bersyukur karena bisa melanjutkan warisan ayahnya.

Dalam pidato pembukaannya, Aksa berbicara dari hati.

“Lukisan ini,” katanya sambil menunjuk ke arah “Pelukan dalam Keabadian,” “bukan hanya sekadar sebuah karya seni. Ini adalah representasi dari cinta yang abadi, cinta yang tak akan pernah hilang meskipun orang yang kita cintai sudah tiada. Ayah saya, Repal, mengajarkan saya bahwa seni sejati bukan hanya tentang apa yang kita lihat dengan mata, tetapi tentang apa yang kita rasakan dengan hati. Dan melalui seni, kita bisa mengabadikan perasaan itu, bahkan melampaui kehidupan.”

Ruangan itu hening, setiap orang terpaku pada kata-kata Aksa. Suasana di sana berubah menjadi penuh emosi, seolah-olah kehadiran Repal masih terasa di setiap lukisan, di setiap sudut pameran. Banyak yang meneteskan air mata, terharu oleh cerita di balik lukisan-lukisan itu.

Putri, yang berdiri di samping Aksa, menggenggam tangannya erat. Ia tahu betapa bangganya Repal akan Aksa, dan bagaimana ia pasti tersenyum melihat betapa jauh Aksa telah berkembang, tidak hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai pribadi yang matang.

Setelah pidato itu, banyak orang mendekati Aksa untuk berbagi cerita tentang bagaimana karya-karya Repal telah menginspirasi mereka.

Ada seniman muda yang mengatakan bahwa mereka terinspirasi oleh ketulusan dan kehangatan yang terpancar dari setiap goresan kuas Repal. Ada juga kolektor yang mengatakan bahwa lukisan-lukisan Repal mengingatkan mereka akan arti pentingnya keluarga dan cinta.

Pelukan Terakhir [on-going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang