Miguel berjalan perlahan menyusuri lorong gereja yang dingin dan remang-remang. Cahaya lilin di dinding hanya memberi penerangan samar, menciptakan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkahnya. Sepatu bot kulitnya berderak di lantai batu yang dingin, suaranya bergema lemah di ruang kosong. Di depannya, bilik pengakuan dosa berdiri seperti sebuah altar kecil, penuh dengan rahasia dan beban dosa yang tak terucap.
Dia mendekati seorang pendeta tua yang tengah bersiap untuk masuk ke bilik pengakuan. Pendeta itu mengenakan jubah hitam panjang, wajahnya dihiasi senyuman lembut namun lelah. Saat Miguel mendekatinya, pendeta itu menatapnya dengan mata penuh belas kasih, seolah sudah siap mendengar pengakuan lain dari jiwa yang tersesat.
"Ada yang bisa kubantu, Pahlawan?" tanya pendeta itu dengan suara yang lembut.
Miguel tersenyum tipis, matanya berkilat dingin. Dia mendekat, mengulurkan tangan ke arah pendeta, dan dengan satu gerakan lembut namun tajam, dia menyentuh dahi pendeta itu. Cahaya samar yang aneh mulai memancar dari jarinya, menyelimuti sang pendeta dalam cahaya magis yang menghipnotis. Mata pendeta itu melebar sejenak, lalu perlahan tertutup, kemudian terbuka menampilkan tatapan kosong.
"Biar aku saja yang melakukannya," bisik Miguel, suaranya hampir seperti desisan ular yang licin, penuh janji gelap "Ini perintah Dewa"
Pendeta itu mengangguk pelan, seolah tidak punya kendali atas tubuhnya sendiri. Tatapan matanya kosong, tak lagi memancarkan kearifan dan kasih sayang yang tadi terlihat jelas. Dengan gerakan kaku, pendeta itu memberi isyarat kepada Miguel, mempersilahkannya dengan tangan yang bergetar pelan, seolah ia kini hanya alat yang bergerak di bawah perintah yang lebih besar.
"Seperti yang Dewa kehendaki," kata pendeta itu dengan nada datar dan hampa, sebelum berbalik perlahan menuju bangku di sudut ruangan, duduk dengan patuh seperti boneka yang kehilangan jiwanya.
Miguel memperhatikan sejenak, memastikan sihirnya telah sepenuhnya bekerja. Kemudian dia melangkah menuju bilik pengakuan dosa, menyentuh tirai kayu tua itu dengan lembut. Tirai itu bergeser tanpa suara, seolah menyambutnya dengan kerahasiaan yang sudah terlalu lama dipendam di dalam bilik itu.
Di dalam bilik, keheningan begitu pekat. Cahaya lilin yang redup dari luar memancar tipis melalui celah-celah, menambah aura misteri di tempat pengakuan dosa itu. Miguel duduk di kursi pengakuan, jubah hitamnya berderit pelan saat tubuhnya bersandar ke belakang. Dia menyentuh salib yang tergantung di dinding, bibirnya melengkungkan senyum samar.
"Orang-orang datang untuk menebus dosa mereka di sini," gumamnya pelan, suaranya seperti bisikan yang menyelinap melalui kayu-kayu tua di sekitar "Tapi kali ini, aku yang akan mendengar semuanya..."
"Jadi, katakanlah dosamu... orang dari dunia lain"
Miguel masih menikmati atmosfer gelap yang melingkupi bilik pengakuan dosa ketika tiba-tiba BANG! Suara keras terdengar dari papan pembatas di depannya, menggema di ruang sempit tersebut. Papan itu bergetar, seolah dipukul dengan kekuatan yang tidak wajar, menandakan ada seseorang di sisi seberang bilik yang telah datang dengan tergesa-gesa—atau dengan emosi yang meledak-ledak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Thread: The Sinner
FanfictionSaat berusia 5 tahun, Lisa bermimpi tentang kematian tragisnya di depan umum, sebuah takdir yang tanpa henti menghantuinya. Meskipun berusaha mengabaikan mimpi tersebut, Lisa malah dihantui oleh serangkaian mimpi lain yang semakin nyata. Seperti pet...