KALAU boleh dilampiaskan tangisnya sekarang, Zura akan memilih demikian.
Tapi sayangnya sedikit repot mengingat dirinya harus membantu pacarnya, Ciara, untuk packing dikarenakan jadwal keberangkatan ke Milan tinggal beberapa jam lagi.
Nanti malam, jadwal flight Ciara tiba. Rasanya masih kurang sekali untuk menghabiskan waktu beberapa minggu berdua bersama Ciara. Kadang berpikir, "Nanti kalau gak ada dia, emang gue harus sama siapa?"
Padahal, pikirannya saja yang terlalu jauh.
"Udah pamit Mami 'kan tadi, Ci?" Tanya Zura seraya menutup rapat koper terakhir Ciara.
Yang ditanya sendiri mengangguk mengiyakan. Senyumnya tak lupa dibawa sedemikian manisnya.
"Udah donggg, nanti 'kan lama gak ketemu Mami. Jadi tadi kamu tinggal mandi aku banyak ngobrol juga sama Mami, selama aku di sini juga 'kan Mami yang ikut bantu-bantu aku, udah kayak Ibuku sendiri," jawab Ciara.
Dirinya beringsut untuk mendekat ke arah Zura. Membawa pasta yang dari lima menit lalu disiapkannya di meja.
Dari pada harus menangis dan larut dalam kesedihan berturut-turut, Ciara sih milih mengalihkan perhatiannya sendiri. Biar gak mellow amat. Nanti kalo Zura sedih, dia sedih juga, yang nenangin pacarnya siapa...?
"Udah masuk koper semua, 'kan? Yang di lemari udah kosong?" Kali ini Ciara yang bertanya. Karena dia cuma kebagian ngelipetin baju doang, sisanya urusan Zura.
Zura sendiri yang gak mau Ciara capek. Bayangin, berangkat malem, capek packing, capek juga di jalan, kasihan.
"Udah, 'kan tadi kamu yang ngelipetin, aku tinggal masukin doang. Yang sekiranya nanti bakalan kepake sebelum berangkat dimasukin pouch aja, biar gak buka-bukain koper lagi."
"Bajumu masih ada tuh tapi yang di rumahku, gak mau diambil dulu aja?"
Zura sendiri baru teringat, ada baju yang selalu dia sisihkan untuk menginap di rumah Zura. Bukan beberapa, tapi banyak. BANYAK. Saking seringnya pulang ke rumah Zura dari pada ke rumahnya sendiri.
Toh, Zura dan keluarga gak ada yang merasa keberatan akan hal itu. Justru lebih seneng soalnya ada bahan liat-liatan selain Zura lagi, Zura mulu. Kalo gak Zura emang siapa lagi? Orang anak cucunya cuma sebiji.
"Ih gapapa, biarin di situ aja. Biar kamu inget aku terus, gak boleh dibuang. Itu kenang-kenangan, pelet supaya kamu gak lirik-lirik cewe lain selama aku pergi! Nanti kalau-kalau aku pulang, seenggaknya aku gak repot karena udah ada di kamu."
Zura merasa tercubit. Duh, ditinggal Ciara pulang ke Milan adalah suatu hal yang gak pernah dia rencanakan sepanjang hidupnya.
Mau gimana pun, dari dulu, dari awal kenal, Zura gak pernah kepikiran kalau pacarnya ini bisa aja diminta balik nyusul orang tuanya di sana. Walau Zura sendiri bisa aja sih ikutan ke sana, bareng Ciara lagi, tapi masalahnya.. Rada enggak mungkin mengingat maminya yang gak bisa jauh dari dia.
"Kamu harus baik-baik selama aku tinggal. Jangan sakit-sakit karena aku gak bisa jenguk kamu gitu aja," tatapan Ciara berubah sendu. Tapi seperkian detik kemudian senyumnya timbul, "Yang jelas aku sayang kamu selalu!"
Zura ikut tersenyum, beralih mengecup pipi memerah pacarnya yang selalu cantik itu.
"Kamu juga hati-hati, kalau udah sampai harus kabarin aku. Kalau ada apa-apa harus kasih tau aku, walau pun hal kecil sekali pun aku juga mau tahu," ucap Zura pelan.
Sungguh, rasa-rasa ingin terus ada di samping Ciara itu akan selalu ada. Akan selalu menemani Zura sampai nanti sebisa mungkin diusahakan dirinya menyusul pacarnya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
SRIKANDI : Love-line [END]
FanfictionAda apa ajasih? Ada yang friendzone, ada yang backstreet, ada yang bongkar pasang, ada yang fwb-an. Tinggal capcipcup gaksih?? Kalau aja Arumi lebih satset, kalau aja Azura berani nanya alasan pacarnya ngajak backstreet, kalau aja Arnata mau ngobrol...