07. All Night.

1.9K 209 1
                                    

Seberapa keras pun Lanaya mencoba tertidur, ia tetap tidak bisa. Bagaimana ia bisa tidur jika pikirannya seolah bercabang tak teratur seperti benang kusut. Pusing terus menghantam. Tidak, bukan pusing dengan makna sebenarnya, tetapi pusing karena berisiknya suara-suara kecemasan tentang bagaimana hari-hari esok akan berlanjut.

Tinggal dua hari lagi acara penobatan Arnest menjadi seorang Duke. Pria itu akan mendapat wilayah kekuasaan tersendiri serta marga baru. Sebenarnya bukan itu hal yang Lanaya pertimbangkan, tetapi bagaimana dengan 'sesuatu' yang akan terjadi pada saat acara itu berlangsung.

"Bagaimana aku harus menghadapi hari esok? Aku takut apa yang terjadi di novel benar-benar terjadi di kemudian hari," gumamnya cemas. Alas kasur serta bantal sudah berantakan karena gerakan acak yang Lanaya perbuat.

Gadis itu kemudian bangkit setelah merasa percuma memaksakan matanya terpejam. Ia berjalan menuju pintu balkon yang bersinar karena cahaya bulan di tengah pekatnya gelap malam. Di kamar itu hanya ada sedikit cahaya yang berasal dari obor karena lampu LED maupun minyak diceritakan belum ditemukan pada abad ini.

Tangan gadis berusia sembilan belas tahun itu bergerak perlahan membuka pintu balkon, kemudian mulai berjalan ke sisi pagar balkon. Kedua tangannya bertumpu seraya menengadah ke atas, menikmati indahnya lingkaran bercahaya yang diketahui sebagai satelit bumi.

Angin malam turut berhembus, menusuk kulit sehingga terasa dingin, juga menerbangkan helai demi helai rambut yang tergerai indah tersebut.

"Ayah... Ibu... Aku berharap kalian selalu membimbingku dalam menentukan langkah yang akan aku ambil. Aku tak pernah bisa berhenti meminta maaf atas apa yang dulu aku lakukan." Liquid bening perlahan mengalir di sudut mata kiri Lanaya.

Sesak di dada mulai muncul saat mengulang kilas balik masa lalu di mana ia dengan tangannya sendiri menghabisi nyawa kedua orang tuanya. Walau itu dilakukan atas unsur ketidaksengajaan, namun tentu saja rasa bersalah itu tetap ada. Ia selalu mendoktrin bahwa ialah penyebab hilangnya kehangatan kehidupan indah keluarga kecil mereka.

"Aku rindu kalian... Aku ingin kembali dipeluk hangat seperti dulu..." lirihnya.

Entah mengapa, tiba-tiba saja dinginnya angin malam perlahan menghilang digantikan kehangatan pelukan abstrak yang tidak diketahui dari mana asalnya. Lanaya memejamkan mata menikmati, karena ia berpikir ini benar-benar pelukan hangat dari kedua orang tuanya.

Perasaan sesak yang semula berkocol berangsur menghilang membuat Lanaya kembali membuka mata. Perasaannya sudah jauh lebih baik setelah mengeluarkan uneg-uneg yang terpendam dan melupakannya melalui tangisan.

Akhirnya, Lanaya kembali masuk dan mengunci pintu balkon kemudian mulai tertidur setelah tidak ada lagi yang harus dipikirkan.

~o0o~

Tengah malam telah berlalu memasuki waktu dini hari. Seorang pria tampan berjalan tanpa suara ke arah bilik Lanaya. Dari kegelapan, dapat dilihat samar fitur wajah tampan itu sedang berekspresi datar.

Tanpa menunggu waktu lama, pria itu membuka pintu kamar tersebut sehingga sesuatu yang ada di dalam kamar tersebut langsung terekspos. Pria yang tak lain adalah Arnest itu mulai melangkah masuk ke dalam kamar, mendekati ranjang di mana sosok Lanaya sedang tertidur lelap.

Sejenak Arnest memandang dalam wajah yang dibiasi bekas-bekas air mata yang sudah mengering. Helaan napas meluncur begitu saja bersamaan dengan kepalanya yang menunduk. "Entah apa yang menjadi bebanmu, tapi saat melihatmu menangis aku tidak menyukainya."

Ya, Arnest menyaksikan semua bagaimana wanita yang sudah menjadi istrinya itu menangis pilu di balkon kamar seraya memandang bulan. Sayangnya, ia tidak tahu apa yang diucapkan oleh Lanaya karena jarak balkon miliknya dengan milik Lanaya berjarak cukup jauh.

Ada satu bagian di dada Arnest merasakan sesak saat wanita penuh kehangatan itu menangis, menggambarkan bagaimana kuatnya wanita itu menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Hingga, karena tidak tahan dengan rasa yang mengganjal tersebut, akhirnya Arnest menyusul masuk ke dalam Kamar Lanaya.

Tanpa tahu malu, Arnest merebahkan tubuhnya di sebelah Lanaya, pria itu menarik pelan tubuh gadis itu kemudian dipeluk layaknya sebuah guling. "Mimpi indah, lupakan apapun itu yang menjadi mimpi burukmu," gumamnya setengah berbisik.

TBC.

Buku Takdir : Cinta dan KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang