13. Wanna Feel

1.4K 174 5
                                    

Berbekal perasaan tak tega. Lanaya berjalan meninggalkan balkon serta kamarnya. Tujuannya sekarang adalah menghampiri pria yang tampak sedang putus asa di balkon sebelah kamarnya. Lanaya masuk ke kamar suaminya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu karena ia tahu, tak ada gunanya mengetuk pintu, toh pria itu juga tidak akan mendengar ataupun sadar.

Hal pertama yang Lanaya lihat saat membuka pintu adalah keadaan kamar Arnest yang tampak sangat berantakan, beberapa pecahan beling yang sepertinya berasal dari pecahan botol minuman keras yang sudah kosong memenuhi lantai. Dapat Lanaya simpulkan, Arnest sudah meminum sebotol minuman keras hingga tandas dan sekarang meneguk yang baru.

Dalam hati, Lanaya bergidik membayangkan dampak meminum minuman keras sebanyak itu. Jika di dunianya dulu, jika meminum minuman keras sebanyak itu sudah dipastikan si pelaku sudah tewas karena organ yang rusak terpapar cairan jahat dari minuman keras.

Tapi di sini, Arnest tampak baik-baik saja seperti sesuatu yang ia minum hanyalah air putih dengan efek samping kehilangan kesadaran dalam artian mabuk. Tentu saja karena ini hanyalah dunia novel fantasi sejarah yang tidak melibatkan akal di dalamnya.

Melangkah dengan hati-hati, Lanaya berhasil tiba di pintu balkon. Ia terdiam menatap ke arah sang suami yang tengah meracau tak jelas. Hanya saja, ada tiga kata yang berhasil Lanaya dengar dengan jelas karena pria itu menggumamkannya berulang-ulang.

"Aku gagal lagi..."

Ya, kata-kata penuh keputusasaan itu masuk ke pendengaran Lanaya sehingga tanpa sadar gadis berusia sembilan belas tahun itu mengernyit. "Gagal sebuah kewajaran," potongnya membuat Arnest menoleh.

Lanaya berjalan perlahan, kemudian mendudukkan tubuhnya di sebelah Arnest. Kedua mata biru safir sang gadis menatap ke depan, "Setiap orang pernah gagal, karena yang aku tahu, tuhan tidak pernah ingin membuat makhluknya merasakan jalan yang mulus."

Arnest mendengus tak setuju, kemudian turut memandang apa yang istrinya pandang. "Kau tidak tahu apa-apa..."

"Aku tahu! Mungkin tidak semua orang sanggup menjalaninya, bahkan aku sendiri pun merasa tak sanggup." Suara Lanaya mengalun lembut seperti saat ibunya berbicara. Sebelah tangannya terangkat merangkul sisi lain perut Arnest. "Di duniaku dulu, aku pernah mendengar pribahasa mengatakan, Tuhan tidak pernah memberikan cobaan diluar kemampuan hambanya, tapi aku merasa pribahasa itu hanyalah omong kosong."

"Kau mengatakan sesuatu, seolah-olah kau berasal dari dunia lain," komentar Arnest namun tak ayal tetap mendengar apa yang akan disampaikan istrinya.

Memang...

Lanaya tak mungkin mengatakan yang sebenarnya, setidaknya untuk saat ini. Beberapa faktor menjadi penyebabnya sehingga ia hanya tersenyum menanggapi ucapan sang suami. "Kegagalan hal yang wajar, dan tugas kita hanya berusaha hingga semua itu tercapai."

"Jika seseorang itu terus gagal apakah itu hal yang wajar?" tanya Arnest.

Lanaya mengangguk meski sang suami sedang tidak menatapnya."Wajar..."

Jawaban tak terduga dari sang istri membuat Arnest menoleh. "Wajar? Bukankah itu sesuatu yang tidak wajar?"

Lanaya menatap iris mata hitam kelam sang suami. "Dulu aku juga berpikir demikian. Prinsip yang aku tanam dulu adalah berusaha hingga tujuan tercapai. Tapi sekarang, prinsip itu berubah menjadi berusahalah hingga tidak hidup lagi. Mengingat, ada banyak orang di luar sana yang tidak berhasil menggapai tujuannya hingga akhir hayat." Tanpa diduga, Lanaya mengecup lembut pipi sang suami membuat pria itu mematung sesaat.

"Terlepas dari sekuat mana mereka mencoba, mereka tetap tidak bisa meraih apa yang mereka harapkan. Dan itu... juga terjadi padaku..." lanjut Lanaya.

"Terdengar menyakitkan," gumam Arnest.

"Memang. Jika tidak ingin yang menyakitkan kuncinya hanya satu."

"Apa itu?"

"Mati, tentunya," imbuh Lanaya tanpa beban.

"Kau benar, itu terdengar bagus. Selain itu kita juga bisa bertemu orang tersayang bukan," sahut Arnest. Pria itu kali ini tersenyum. Ia meletakkan botol minuman yang tersisa setengah kemudian tanpa aba-aba meraih tangan sang istri yang tidak merengkuh perutnya dan menggenggam tangan itu erat. "Sayangnya, aku tidak punya seseorang yang ingin aku temui," imbuhnya.

Lanaya tersenyum lembut, merengkuh semakin erat sang suami. "Sekarang mungkin belum ada. Tapi kamu bisa mengandalkanku. Berhentilah meminum barang tak berguna itu, jika ada masalah jangan sungkan untuk berbagi."

Arnest tersentuh mendengar ucapan sang istri. Entah mengapa perasaannya yang dari awal mengatakan untuk membenci Lanaya berangsur menghilang dan perlahan perasaan tersebut terganti dengan rasa nyaman. Memang benar kata orang untuk tidak terlalu membenci seseorang karena bisa jadi benci tersebut menjadi cinta.

Perasaan di dada Arnest membuncah. Ia ingin selalu merasakan perasaan ini. "Jangan pernah menarik kata-katamu, Lanaya." Suara berat itu berbisik penuh kelembutan tapi Lanaya bisa merasakan ancaman berbalut obsesi di dalamnya.

Lanaya tak menyadari, ucapannya tempo waktu bisa saja membuatnya kesusahan di esok hari karena telah membangunkan serigala yang akan melakukan apa saja agar sang betina tidak bisa lari atau pergi dari sisinya.

TBC.

Buku Takdir : Cinta dan KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang