Arnest terdiam sejenak, sepasang netra hitam kelam itu memandang lurus ke arah sang istri. Bukannya tidak ingin mengajak Lanaya, hanya saja ia ragu, ia tidak ingin gadis yang masih berusia sembilan belas tahun itu menjadi bahan caci-makian oleh para bangsawan yang iri dan tidak menyukai mereka.
Mengerti akan keraguan sang suami, Lanaya tersenyum simpul. "Aku pasti membantumu, aku juga janji tidak akan terpengaruh dengan cacian mereka."
Meski keraguan itu belum hilang, Arnest mencoba mempercayainya. Pria itu mengangguk setuju membuat Lanaya tersenyum puas. "Aku tidak yakin kita akan tiba tepat waktu, tapi.. cepat bersiap, rapat akan dimulai kurang dari tiga puluh menit lagi!"
"Oke! Tenang saja, aku jamin kita tidak akan terlambat. Pangeran, tolong keluar sebentar dan jangan panggil pelayan, aku bisa menyiapkan diriku sendiri!" ujar Lanaya semangat. Ia meraih kain yang akan digunakan sebagai handuk. Di tahun ini, memang handuk belum ditemukan karena minimnya pengetahuan orang-orang tentang bahan yang digunakan untuk membuat handuk.
Arnest mengernyit bingung seraya mengangguk tak mengerti. "Baiklah, aku akan menunggu di luar. Kau yakin tidak membutuhkan pelayan?"
"Yakin, sana kamu keluar saja!" Entah keberanian dari mana, mungkin karena sudah bertemu kedua orang tuanya, Lanaya menjadi sosok yang jauh berbeda, ia jadi lebih energik dan dengan berani mendorong tubuh sang pangeran untuk keluar dari kamar.
~o0o~
Arnest yang biasanya terlihat dingin dan tidak banyak melakukan gerakan tidak berarti kini tampak sebaliknya. Pria itu mondar-mandir di depan kamarnya layaknya seorang suami yang sedang menunggu istrinya bersalin bahkan sang tangan kanan pun sudah mulai pusing karena lebih dari sepuluh menit sang pangeran melakukan hal tersebut.
"Anda terlihat seperti menunggu Duchess yang sedang melahirkan," celetuk Aeron--sang tangan kanan--membuat Arnest menatap pria itu tajam.
Mengerti akan kesalahannya Aeron lekas menunduk kemudian berkata. "Maaf atas kelancangan saya, Duke."
Arnest menghela napas, ia bersender di dinding seraya mendongak. "Apa keputusanku sudah benar, Aeron?" tanya Arnest. Tak bisa dipungkiri masih ada keraguan besar di dalam dirinya setelah memutuskan untuk berdamai dan membangun hubungan baik dengan istrinya.
Sebuah ketakutan tak luput datang, terbayang bagaimana orang-orang yang peduli padanya pergi satu per satu. Ketakutan yang muncul karena kisah kelam di masa lalu yang merujuk pada susah percaya dengan sesuatu atau dengan kata lain, Arnest mengalami trust isue.
"Mohon maaf, Duke. Menurut saya cobalah Anda untuk percaya dengan keputusan yang Anda buat, jika memang nanti hasilnya diluar prediksi, itu sudah takdir."
"Pelayanmu benar!" celetuk Lanaya yang baru saja selesai bersiap membuat sang pangeran dan tangan kanannya menoleh. Lanaya tersenyum manis, seraya menggerakkan kakinya ke kanan dan ke kiri. "Bagaimana, aku cantik 'kan?"
Mendengar kepercayaan diri dari sang istri membuat Arnest tersenyum kaku. Ia tidak mengingkari bahwa ucapan Lanaya adalah kebenaran. Gadis itu tampak memukau, bahkan ia sendiri sempat terpukau sebelum suara penuh kepercayaan diri itu memecah fokusnya. Bukannya tak suka dengan orang yang percaya diri, hanya saja ia sejujurnya belum terbiasa, sehingga senyum kaku penuh kecanggungan sontak tersungging.
"Pelayanmu itu benar, seharusnya-"
"Saya bukan pelayan, Duchess, saya tangan kanan Tuan Duke!" potong Arnest membuat Lanaya mendengus.
"Sama saja! Yang pasti jangan berani memotong perkataanku seperti tadi!"
"Maaf Duchess, saya hanya tidak terima disamakan dengan profesi pelayan, sedangkan untuk menjadi tangan kanan saya harus mengikuti tes kepintaran."
"Terserahlah!" Lanaya tak peduli dengan ocehan Aeron, lagi pula di zaman modern tangan kanan dan pelayan itu sama saja 'kan?
"Nah, Suamiku, dengarkan! Seharusnya kamu harus mengambil keputusan sendiri, yakin saja dengan apa yang kamu ambil. Aku tidak tahu apa itu, tapi jika memang nanti hasilnya tidak sesuai dengan yang kamu harapkan itu adalah takdir. Ingat takdir tidak bisa diubah, tapi setiap takdir memiliki makna dan akhir yang indah." Lanaya tak percaya ia baru saja mengatakan omong kosong seperti itu padahal dia sendiri sering menyalahkan takdir yang tak adil. Ia jadi merasa orang yang bermuka dua, dimana mulutnya mengatakan takdir selalu indah sedangkan hatinya berkata lain.
"Munafik..." gumamnya pelan.
"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Arnest.
"Ah, tidak. Ingat kata-kataku tadi. Sekarang ayo kita berangkat, bukankah rapat akan dimulai sebentar lagi?" tanya Lanaya.
Anggukan Arnest berikan kemudian tangannya terangkat, perlahan menggenggam tangan sang istri, membawanya keluar dari istana menuju kereta kuda mereka.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Takdir : Cinta dan Kutukan
FantasíaMasuk ke dalam buku karya kakeknya adalah hal yang tidak pernah Lanaya sangka. Lanaya pikir, ia telah meninggal setelah di dorong kakeknya ke sebuah jurang, tetapi justru ia kembali hidup--tidak, lebih tepatnya masuk ke dalam buku, menjadi seorang i...