12. Find One Near.

1.3K 136 7
                                    

Lanaya POV

"Aku kembali" gumamku menatap ke langit-langit. Pikiranku mendadak kosong, seolah semua semangat yang aku rajut sesaat tiba di dunia antah-berantah ini hilang begitu saja.

Aku tarik kembali perihal ingin merasakan kebahagiaan bersama Arnest, karena itu sekarang terasa hampa. Bahkan setelah mengetahui bahwa aku mempunyai kesempatan yang besar untuk membuat cinta Arnest berlabuh padaku, hal tersebut tetap terasa hampa dan hambar.

Yang pasti... Aku hanya ingin kembali bertemu ayah dan ibu.

Mataku sontak menoleh saat mendengar deritan pintu khas abad pertengahan terdengar. Seorang laki-laki berwajah tampan dengan baju formal yang tampak gagah memasuki ruangan tempatku berbaring saat ini. Dia adalah suamiku, tidak, lebih tepatnya suami pemilik tubuh ini--Arnest.

Kemudian, aku kembali mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar, mengabaikan atensi pria penuh ambisi yang dibalut dengan wibawa yang kental. Aku kembali mengingat apa saja yang sudah aku lakukan saat melepas rindu bersama ayah dan ibu.

Hingga, aku teringat apa yang mereka katakan saat sudah waktunya berpisah dan aku bersikeras menolak hal tersebut.

"Kamu harus kembali Lanaya, jika tidak, kamu selamanya tidak akan pernah bertemu dengan kami lagi," ancam ayah yang terdengar kejam bagiku saat itu.

Kedua penglihatanku perlahan memburam, pertanda ada bias-bias kaca yang dihasilkan dari liquid bening yang hendak keluar mewakili emosiku saat ini. Aku rasanya ingin berteriak mengatakan tidak ingin berpisah bahkan Sang Pencipta mungkin tak segan kutentang agar tetap bisa bersama mereka. Namun yang keluar, hanyalah suara kecil menahan tangis, karena entah mengapa suara ini turut tertahan seiring dengan tangisan yang kutahan.

"Tapi aku tidak ingin berpisah, Ayah..."

"Sayang..." Suara ibu mengalun lembut membuatku memfokuskan pada wanita hebat yang telah melahirkanku. Ia tersenyum menenangkan membuat aku tertegun. "Kewajibanmu belum selesai. Ibu mengerti berat rasanya jika harus meninggalkan kami, benar bukan?"

Aku sontak mengangguk, menyetujui perkataannya. Aku pikir sepertinya ibu akan mengerti dan tidak akan memaksaku meninggalkan mereka. Aku tahu kewajiban yang ditugaskan belum terpenuhi, tapi... tidak bisakah aku kembali nanti saja.

"Tapi kamu tidak bisa untuk tidak lekas kembali. Kamu harus menyelesaikan kewajibanmu, ingat... Semakin cepat kamu menyelesaikannya, semakin cepat kamu kembali ke sini."

Suara ibu berbanding terbalik dengan ayah. Jika ayah mempunyai suara tegas dan berat seperti jalan aspal yang tidak diurus pemerintah, maka ibu memiliki suara halus seperti kapas. Sangat berbeda bagaikan langit dan bumi.

Satu hal yang mulai tertanam dikepalaku adalah. "Semakin cepat kamu menyelesaikannya, semakin cepat kamu ke sini."

Perkataan itu terus berulang hingga akhirnya lamunanku buyar saat tangan yang memiliki tekstur kulit kasar mengelus lembut pipiku.

"Kau baik-baik saja?" Suara beratnya memecah keheningan, membuatku mau tak mau fokus kepada lelaki tampan yang sedari tadi tampaknya telah duduk di sebelahku. Aku terdiam tak menjawab, menatap wajah tampan yang tampak menunggu kepastian.

"Aku baik-baik saja." Saat aku perhatikan wajah pria itu, bagaimana ekspresi yang awalnya tegang penuh penasaran berubah menjadi ekspresi penuh kelegaan membuatku tanpa sadar merasakan perasaan menggelitik yang sialnya lagi aku tak tahu maksud dari perasaan tersebut.

Satu hal yang pasti... Aku menyukainya.

~Third Person POV~


Langit malam berhembus kencang, disertai dengan gerimis tipis yang mulai sedikit demi sedikit membasahi permukaan bumi. Lanaya duduk di balkon kamar seraya memperhatikan halaman mansion baru serta keadaan wilayah sekitar yang kini menjadi wilayah kekuasaan milik Arnest.

Baru ia ketahui belakangan ini bahwa Arnest membawanya ke istana untuk bangsawan bergelar duke yang tentu Arnest sekarang adalah salah satu orang yang memiliki gelar tersebut.

Lanaya cukup menyukai tempat baru ini karena terlihat asri dan juga nyaman, letak kastil pun tak jauh dari pemukiman yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari kediaman. Tak hanya itu, meski malam ini gelap dan redup karena cahaya bulan yang tertutup awan mendung, Lanaya masih bisa menyaksikan bagaimana indahnya taman kediaman.

Saat tengah menikmati suasana sekitar, suara deritan dari pintu balkon yang berada tak jauh disebelahnya membuat atensi Lanaya teralihkan. Tepat di sana, Lanaya dapat melihat seorang pria dengan tangan menenteng sebotol minuman tampak mendudukkan tubuhnya di sana. Pria yang tak lain adalah Arnest itu menyandarkan tubuhnya seraya sesekali meneguk isi botol yang Lanaya duga adalah minuman keras.

"Dia ada masalah?" gumamnya. Perasaan kasihan mengisi relung hati Lanaya. Ia tahu skenario ini karena di dalam cerita karangan kakeknya--yang Lanaya sendiri tidak tahu itu benar-benar ada atau hanya halusinasinya--ia membaca secara garis besar, Arnest akan semakin frustrasi setelah diangkat menjadi duke karena ia merasa ambisinya untuk menjadi penguasa dan diperhatikan oleh seluruh dunia seolah mulai tenggelam.

Lanaya sadar, pria itu tidak serumit kelihatannya. Dari latar belakang penyebab ia berambisi merebut tahta, sudah terlihat jelas bahwa sesungguhnya Arnest hanya butuh sebuah perhatian. Bahkan, hanya untuk memuaskan hal tersebut, Arnest hanya butuh satu orang yang benar-benar perhatian, serta memiliki tempat yang dekat untuk ia mencurahkan hari-harinya yang berat.

Sebagaimana Lanaya, memiliki kakek yang begitu perhatian padanya dulu.

TBC.

Buku Takdir : Cinta dan KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang