02. Somedays

2.2K 197 3
                                    

Sepasang kaki jenjang seputih pualam melangkah secara perlahan, untuk menelusuri istana megah yang sangat tidak familier di matanya. Sang empu yang tak lain adalah Lanaya hanya bisa berdecak kagum, menikmati seluruh kemewahan kastil megah istana.

Tidak ada drama pelayan yang datang ke tempatnya, tidak ada drama tabib atau prajurit yang menyambutnya, semua orang tampak acuh tak peduli pada sosok karakter istri dari pangeran tersebut. Tentu saja Lanaya memasuki karakter figuran tidak penting yang turut dikucilkan oleh orang-orang istana. Bagaimana tidak dikucilkan? Suaminya saja tidak dihormati sama sekali dan semua itu menular ke kehidupan Lanaya Von Fransisco.

Sekilas tentang Lanaya Von Fransisco, ia adalah putri dari seorang bangsawan berpangkat Viscount, sifatnya baik dan lembut untuk orang-orang yang memang baik kepadanya. Pernikahan Lanaya dengan Arnest adalah karena unsur kesengajaan dibalut perjodohan yang diatur sendiri oleh sang permaisuri.

Alasannya tentu saja agar kekuatan Arnest untuk menjadi raja selanjutnya terputus karena Baron Fransisco yang tidak memiliki dampak besar bagi keberlangsungan tahta.

Hubungan yang terjalin antara pasangan suami istri ini juga kurang baik, di mana Lanaya menganggap Arnest sebagai penyebab ia dikucilkan sedangkan Arnest sendiri harus pupus mengejar ambisinya menjadi seorang raja.

Memang, Lanaya dicintai dengan sepenuh hati oleh para pelayan serta orang tuanya, bahkan berkat hal tersebut sifat manja seorang Lanaya tidak mudah hilang walau usianya sudah menginjak usia yang ke sembilan belas tahun.

"Indah, tapi... Di mana pangeran Arnest?" Lanaya bergumam seraya menoleh ke arah pelayan yang tampak sedang bergosip ria.

Sontak saja, rasa penasaran menguasai gadis itu, ia berjalan mendekat dengan mengendap-endap. Setelah di rasa posisinya sudah cukup untuk mendengar lebih jelas, Lanaya lekas berdiam, memasang pendengaran dengan baik.

"Kau dengar? Sebulan lagi pangeran Arnest akan dilantik menjadi seorang Duke," ucap seorang pelayan berbaju putih.

"Ya, aku tahu berita itu. Akhirnya setelah ini dia tidak akan ada di istana ini lagi," sahut pelayan yang lain.

Lanaya setia memasang pendengarannya baik-baik, sedikit senyum terbit di bibirnya sebab berkat para pelayan yang lepas bergosip membuatnya bisa mengetahui informasi alur cerita. Meski terbekali ingatan pemilik tubuh, Lanaya sama sekali tak tau persis sampai di mana cerita ini berjalan, yang ia ketahui hanya garis besarnya saja seperti ia yang sudah menikah dengan Arnest berarti sudah memasuki seperempat alur.

Baiklah, satu kesulitan mulai teratasi, sebuh informasi penting telah ia dapatkan sehingga ia bisa membantu Arnest. Yang pasti, di acara pelantikan nanti sebuah kejadian yang tidak mengenakkan terjadi dan hal tersebut membuat Arnest semakin putus asa.

Selanjutnya, Lanaya perlu mencari orang yang setidaknya dapat menjadi temannya, baik itu pelayan atau bahkan bangsawan. Mungkin untuk pilihan kedua itu terdengar mustahil jadi ia akan mengenyampingkan hal tersebut. Pelayan mungkin terdengar mustahil jika mencari dari kastil ini, jadi jalan lainnya adalah meminta pengawal dari kediamannya sendiri.

"Ide bagus!" ujarnya berbisik. Tapi sebelum itu, ia tentu harus meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu, bukan? Kata orang di dunianya dulu, seorang istri harus selalu meminta pendapat suaminya, di samping dapat meningkatkan kedekatan hubungan, hal tersebut konon katanya juga memperlancar tujuan.

Jadi...

Ayo cari Arnest!

~o0o~

Di mana pangeran Arnest? Seperti itulah pertanyaan yang terpatri di benak Lanaya. Berkeliling kastil seraya menggali ingatan tentang wajah Arnest telah ia lakukan, tapi ia sama sekali belum menemukan pria itu.

Kakinya bahkan rasanya hampir patah karena mengelilingi kastil yang kurang lebih sekitar setengah hektar. Baik, sebenarnya anggapan itu sedikit hyperbola. Lanaya belum mengelilingi seluruh kastil itu dengan benar. Oh, siapa yang mau berjalan kaki sejauh lima kilo meter per segi?

"Huh, sudahlah. Lebih baik aku ke kamar dan beristirahat, masalah pangeranku yang tampan akan aku cari lagi nanti."

Setelahnya, Lanaya benar-benar melangkah menuju kamarnya tempat pertama kali ia terbangun. Butuh waktu kurang lebih lima belas menit untuk tiba di kamar miliknya. Tapi sebelum benar-benar mencapai kamarnya, perhatian gadis itu teralih pada pintu kamar yang entah kenapa terlihat menarik, terlebih lagi di sebelah pintu itu terdapat obor yang apinya berwarna biru sehingga membuat siapapun yang melihatnya mungkin akan tertarik.

Perlahan, Lanaya melangkah ke arah kamar tersebut. Ia tidak akan melangkah melainkan akan sedikit membuka pintu untuk mengintip apa yang ada di dalam sana. Tepat di depan pintu tersebut, Lanaya menoleh ke sekitar memastikan jika dia hanya sendiri di lorong tersebut. Setelah merasa keadaan aman, tanpa membuang waktu lagi Lanaya mendorong pintu tersebut.

Sedikit celah pintu ia lebarkan kemudian menyembulkan kepalanya ke dalam sana. "Halo..." gumamnya setengah berbisik yang tidak membutuhkan balasan dari siapapun.

Namun, sepertinya sapaan itu mendapat sebuah balasan yang terkesan horor. Rintihan seorang lelaki yang terdengar menyedihkan membuat seluruh bulu kuduk Lanaya berdiri. Walau begitu, ia tidak menarik kembali kepalanya tetapi justru menyipitkan mata guna menajamkan penglihatannya atas ruangan gelap tersebut.

"Siapa itu?" tanyanya setengah berani. Sekali lagi rintihan terdengar kali ini semakin jelas. Satu kesimpulan Lanaya buat, ia langsung masuk ke dalam ruangan tersebut guna mencari asal suara tersebut.

Gelap, ruangan itu sungguh gelap. Ia tidak menyangka setelah pintu ia tutup, isi ruangan itu tidak terlihat sama sekali. Lanaya kembali membuka pintu, mengambil salah satu tangkai obor yang terletak di sebelah pintu, setelah itu, barulah gadis berusia sembilan belas tahun tersebut menyusuri ruangan luas yang tampaknya sebuah kamar.

Lanaya memperhatikan penataan barang pada kamar itu. Tidak jauh berbeda dari kamarnya. Kaki gadis itu melangkah hingga sampailah ia pada sebuah ranjang. Rintihan itu terdengar lagi dan asalnya dari atas ranjang tersebut. Tangan Lanaya ia arahkan ke asal suara, menyorot seorang laki-laki tampan yang sedang mengerang kesakitan.

Wajahnya familier, bahkan sangat familier. Pria yang sedari tadi ia cari ternyata sedang berada di sini dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Wajahnya mengernyit tak enak dipandang, keringat bercucuran membuat baju lusuh yang pria itu kenakan jadi basah, beberapa bekas darah mengering terlihat di atas kasur tersebut menambah kesan suram.

Rasa iba menyerang Lanaya. Ia ingat apa yang menjadi penyebab utama semua ini. Darah yang tidak cocok mengalir di tubuhnya sehingga membuat Arnest kerap kali merasakan rasa sakit menyengat yang bahkan mampu membuatnya mimisan. Dan sekarang, pria itu pasti sedang kesakitan karena hal tersebut.

TBC.

Buku Takdir : Cinta dan KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang