16. I Can't

1K 155 14
                                    

Lima belas menit yang lalu, Lanaya dan Arnest telah tiba di tempat Arnest dibesarkan. Tempat yang sang empu anggap mengerikan karena banyak hal buruk terjadi di sini.

Pasangan suami istri itu telah berjalan didampingi oleh prajurit kerajaan yang ditugaskan untuk mengawal siapa-siapa saja yang menjadi peserta rapat kerajaan. Hingga akhirnya, mereka tiba di depan pintu besar, menjulang tinggi yang diketahui sebagai ruang rapat kerajaan tersebut.

Nuansanya tentu saja remang-remang karena cahaya matahari tak sepenuhnya masuk ke dalam ruangan yang luasnya kurang lebih enam puluh meter persegi. Hanya obor yang menjadi andalan penerangan itupun hanya diletakkan di beberapa sudut. Jujur saja Lanaya tak pernah terbiasa dengan keadaan gelap ini, tapi mau bagaimana lagi, bola lampu di zaman ini belum ditemukan, jangankan lampu, listrik saja belum ada.

Omong-omong soal ukuran, Lanaya tak heran dengan luas ruangan ini, toh di zaman modern Lanaya ingat istana terkecil di dunia saja memiliki ukuran sekitar sembilan ribu enam ratus meter persegi. Bayangkan! Sembilan ribu enam ratus meter jika ditempuh dengan berjalan kaki pasti memerlukan waktu sekitar satu jam untuk sampai dari ujung ke ujung.

(Hasil riset aku dari internet. Ada istana terkecil di dunia ukurannya sekitar 9,6km atau 9600 meter, sedangkan istana terbesar yang pernah dibangun sekitar 243km atau 243000 meter.)

Memasuki ruangan itu, seorang prajurit yang membacakan nama tamu yang memasuki ruangan, terdengar menggelegar. "Duke dan Duchess Arrent memasuki ruangan."

Lanaya meringis, menutup telinga sebelah kanannya karena prajurit itu berteriak tepat di samping telinga kanannya. Ia jadi kasihan dengan pita suara prajurit itu, apakah akan baik-baik saja? Lanaya rasa tidak, dulu saja tetangganya pernah kehilangan suara beberapa hari karena bernyanyi terlalu keras, apalagi prajurit itu.

Baiklah, mengesampingkan hal tersebut, Lanaya beralih menatap ke arah wajah-wajah para tamu yang hadir. Rata-rata menatap mereka datar tapi ada pula yang tak segan-segan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap mereka. Entah apa alasannya, apakah itu karena kedudukan Arnest sebagai Duke dan mereka merasa Arnest bukanlah orang yang pantas? Sepertinya itu masuk akal.

Ada satu orang yang menarik perhatian Lanaya, seorang laki-laki bertubuh besar dengan wajah yang cukup tampan serta rambut yang sedikit memutih menatap ke arahnya dengan senyum merekah. Bukan senyum sinis atau keanehan, itu tampak seperti senyum kebahagiaan seolah pria itu menunggunya sejak lama.

Sejenak, Lanaya berpikir, siapa pria yang sedang menatapnya. Kerutan tak dapat dihindari, hingga di sepanjang jalan menuju kursi yang disediakan untuk mereka, Lanaya masih menunjukkan ekspresi wajah seperti itu.

Lama berpikir, akhirnya Lanaya mengingat pria paruh baya yang masih tampak gagah itu. Itu adalah ayahnya--baron Fransisco--Ah, tidak, Ayah si pemilik tubuh. Pantas saja tubuh ini memiliki paras yang cantik, toh ayahnya saja setampan itu, walau jika dibandingkan dengan yang ada di ruangan ini, masih banyak yang lebih tampan, contohnya kaisar kejam itu dan tentunya Arnest.

"Duke Arrent, kau hampir terlambat!" Suara berat Kaisar memecah keheningan.

Lanaya memandang pria yang menjadi ayah mertuanya dengan mata yang mendelik. "Hampir 'kan? Begitu saja dipermasalahkan." Ia tak bisa terang-terangan berucap seperti itu, ingat, sekarang ia mengalami situasi yang nyata tidak seperti di novel-novel yang dengan berani membantah ucapan raja. Ia bukan kucing yang memiliki sembilan nyawa.

Dengan instruksi sang raja, rapat pun dimulai, pertama permasalahan kerajaan yang akan di urus sedangkan Arnest dan Lanaya hanya diam karena mereka memang diizinkan untuk tidak memberikan saran di permasalahan umum karena diberikan ruang untuk memikirkan permasalahan di wilayah pribadi mereka.

Lanaya sendiri sudah mengetahui permasalahan apa yang akan mereka bahas jadi dia hanya memperhatikan rapat yang sejauh ini berjalan baik. Permasalahannya menyangkut pemberontakan dan semuanya berakhir dengan solusi menambah tenaga keamanan.

Sampai akhirnya, sebuah masalah membuat keadaan ruang rapat semakin memanas karena tak kunjung mendapatkan solusi. Permasalahan itu adalah tentang wilayah bagian selatan yang mengalami kesulitan bahan pangan karena lahan bercocok tanam mereka telah dihancurkan oleh kerajaan lain yang melontarkan bendera perang.

"Bagaimana jika kita langsung menyerahkan wilayah itu saja, tidak ada harapan lagi, meski tanahnya subur tetapi tidak banyak yang bisa dilakukan, tanah yang tersisa hanya di daerah pengungsian." Saran itu berasal dari seorang Marquest Almeda.

"Bodoh!" Lanaya bergumam kecil, namun karena semua orang tengah berpikir, suara kecil itu akhirnya bergema dan terdengar oleh semua orang. Perhatian mereka tertuju ke arah Lanaya menatapnya penasaran.

"Apa maksud anda, Duchess Arrent?" Sang Raja bertanya.

Menyadari ada yang salah Arnest ingin membuka suara, agar istrinya tidak masuk terlalu jauh, tapi karena Lanaya mengangkat tangannya seolah melarang Arnest untuk bicara, pria itu akhirnya mengatupkan kembali bibirnya. Entah kenapa Arnest jadi merasa yakin bahwa Lanaya bisa menyelesaikan ini sendiri.

"Mohon maaf sebelumnya, Yang Mulia Raja, tapi saya rasa saran Marques Almeda terlalu bodoh--"

"Lantas bagaimana, Duchess? Kau punya saran? Jangan asal bicara jika kau tidak tahu apa-apa," ujar Marques Almeda yang merasa tersinggung. Ia tersenyum mengejek dengan sorot mata menatap remeh.

"Marques benar, Duchess. Saya tidak akan meminta saranmu karena perjanjiannya kau dan Duke Arrent harus mengatasi urusan wilayah kalian sendiri," ujar sang raja seraya melirik Arnest yang tampak diam saja.

"Tapi saya mempunyai saran Yang Mulia!" seru Lanaya.

"Lanaya, jangan melewati batas!" Arnest menggeram, ia tak bisa membiarkan istrinya malu terlalu jauh.

"Stt, tenang saja, Suamiku! Sudah terlanjur basah, sekalian saja berenang!"

"Jika begitu, silakan, apa saranmu Duchess?" tanya Raja tampak tertarik dengan ucapan Lanaya.

Lanaya menarik napasnya sejenak sebelum memasang senyum. Matanya dengan berani menatap balik orang-orang yang menatapnya dengan tatapan remeh. "Bukankah tadi Marques Almeda mengatakan bahwa masih ada tanah subur ditempat pengungsi? Kita bisa memanfaatkan itu untuk menanam pangan-pangan serta perbekalan perang, selain itu kerahkan lebih banyak tenaga medis dan saintess agar tingkat korban jiwa serta penurunan jumlah prajurit berkurang drastis."

Ide briliant itu mengalir begitu saja, membuat orang-orang terperanga dengan ide Lanaya yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Melihat hal tersebut Lanaya tersenyum puas, ia menatap ke arah sang suami seraya mengacungkan jempolnya dengan bibir berkata tanpa suara, keren 'kan?

Raja bertepuk tangan senang. "Menarik! Aku akui idemu brilian, Duchess. Tapi untuk perkataanmu tentang Saintess kita sepertinya membutuhkan solusi lain, karena Saintess sendiri sangat sulit untuk harus menunggu persetujuan dari penyihir agung!"

"Tenang saja raja, kami akan mengurus sendiri tentang saintess itu." Lanaya bersmirk seraya melirik dengan sorot mata kepuasan ke arah Marques Almeda yang diam tak berkutik. Hal tersebut tak luput dari pandangan Arnest membuat pria itu semakin merasakan perbedaan pada diri sang istri setelah gadis itu terbangun setelah meminum racun tempo hari.

"Baiklah, untuk masalah wilayah bagian selatan telah selesai. Selanjutnya adalah permasalahan wilayah Arrant. Duchess, karena tadi kau telah membuatku terkesan silakan berikan pendapatmu terlebih dahulu."

TBC.

Yang inget nama raja/kaisarnya ini tolong kasih tau, atau aku emang belum buat nama rajanya ya?

Buku Takdir : Cinta dan KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang