Bagian kedua belas

6 3 0
                                    


" Mau kemana ? " Lu Tao tanpa sadar segera berdiri ketika melihat Alira melewati rumahnya, wajahnya tanpa ekspresi, namun matanya melirik ember di tangan Alira sambil menyipit.

" Menimba air. " Alira menjawab, dia ingin mandi, tapi tong airnya sudah kosong.

" Tunggu di sini. " Lu Tao segera menyambar ember kayu milik Alira, tanpa menunggu jawaban, dia pergi ke arah sumur desa dengan langkah besar. 

" Ehh, tunggu, aku bisa mengambilnya sendiri. " Alira sedikit berlari untuk menghentikan, tangannya tanpa sadar meraih ujung lengan baju Lu Tao, setelah tersadar, Alira menjadi gugup, segera melepaskan pegangan tangannya.

" Tunggu di rumah. " Lu Tao bersikeras, segera melangkah lebih cepat.

" E--eh,, " Alira termangu, sedikit senyum tipis menghiasi bibirnya, entah hanya delusi atau bukan, tapi rasanya seperti memiliki seorang suami yang mengambilkan istrinya air. Ahh, dia merasa jantungnya berdetak tak terkendali ketika memikirkan imajinasi tidak masuk akal ini.

' Berhentilah berkhayal ' Batinnya berkata sinis.

Menunggu sekitar sebatang dupa, Lu Tao akhirnya kembali, embernya penuh, berjalan mantap tanpa goyah.

" Terima kasih. " Alira tersenyum tipis sambil mengulurkan tangannya.

" Air ini untuk apa ? " Lu Tao bertanya, menghindar ketika Alira ingin meraih ember dari tangannya, dia tidak ingin tangan halus dan mulus Alira menyentuh ember berat ini. Lihatlah jemari panjangnya yang ramping dan sedikit merah muda itu, tangan seindah pualam itu harusnya menyentuh kain sutra, merangkai bunga atau menulis sajak puisi dengan kuas, bukannya bersinggungan dengan ember berat lusuh, bagaimana jika terluka, duri kayu bisa saja terselip jika ceroboh bukan. Pikirannya menggembara.

" Itu untuk mandi. " Alira menjawab sambil mengerucutkan bibirnya agak malu, baginya itu bukan masalah, toh dia bukan boneka kain yang lemah gemulai, meski Alira terlihat lembut namun dia juga memiliki tubuh pria, sejak kecil dia terbiasa melakukan beberapa pekerjaan pembantu, jadi mengangkat ember air tidak akan mematahkan seluruh sendinya.

Lu Tao mengangguk, berjalan santai dan memasukkan air ke dalam bak kayu kecil di kamar mandi halaman belakang.

" Apa ini cukup.? " Lu Tao melirik Alira di sampingnya.

Alira menangguk. " Ya "

" Baiklah, apa kamu sudah merebus air panas. ? " Lu Tao bertanya serius, mimik wajahnya sungguh tak tertahankan, dengan mata tegas, wajah serius, seperti prajurit di medan perang, berdiri dan bertanya kepada musuh, apa kau sudah merebus air. ?

Alira tidak tahu apakah dia harus tertawa atau menangis, namun, satu hal yang pasti, hatinya terasa hangat dengan perhatian kecil yang belum pernah dia rasakan, dulu dia yang memperjuangkan Zihao, menempel dan mati-matian untuk meraih cintanya, sehingga Alira tidak pernah tahu bagaimana rasanya di perhatikan dan di perlakukan seperti batu giok, menurutnya sikap dingin Zihao masih bisa di maklumi, asal mereka bersama, Alira tidak peduli, namun kali ini, setelah di permainkan dalam kegelapan, perhatian kecil ini seperti kunang-kunang di tengah hutan gelap, cahayanya seperti menuntunmu menemukan rumah penduduk, membantumu agar tidak tersesat dalam kegelapan. Itu menggelitik membuat geli di suatu sudut yang mati rasa.

Alira segera mandi dengan hati yang terasa penuh kepakan sayap kupu-kupu, ketika dia keluar dari kamar mandi, dia melihat kendi air di halaman depan dekat pintu dapur sudah penuh, di sampingnya ada ember yang tergeletak penuh air. Itu cukup untuk tiga atau empat hari.

Alira bergegas menuju halaman, pergi ke sisi kiri rumah, menuju pondok kecil di samping dapurnya yang hanya di pisahkan oleh pagar tanah liat setinggi pinggul , tempat Lu Tao biasa duduk membuat perabot rumah tangga, baik dari kayu atau pun bambu.

[BL] Tuan tukang kayu yang sangar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang