Bagian keempat belas

3 2 0
                                    

Suara Ayam berkokok terdengar riuh membangunkan, langit gelap masih menggantung di luar rumah. 

Alira terbangun dengan mata sedikit sembab, dia segera mencuci wajahnya dengan air dingin,  menggosok gigi dengan setangkai siwak, itu berasal dari ranting pohon yang ujungnya di pecah hingga berbentuk seperti kuas.

Bagi orang kaya, biasanya mereka akan memakai sikat gigi yang terbuat dari bulu hewan, agar lebih lembut.

Setelah selesai, Alira mulai membuat adonan, dia mencampurkan gandum dengan air hangat, menambah sedikit garam, gula dan pengembang, setelah kalis, dia menutupnya dengan kain bersih. 

Setelah pulang dari ladang, adonan akan mengembang dan cocok di buat bakpao.

Kemarin malam, saat makan malam, Kakek Du berkata akan menanam gandum, Alira tentu saja menawarkan diri untuk membantu. 

Karena itu dia bangun lebih awal hari ini, setelah selesai membuat adonan, dia memanaskan Pancake dan sayuran sisa kemarin yang belum habis.

setelah sarapan bersama, keduanya segera pergi menuju ladang, banyak penduduk juga sibuk untuk menanam gandum.

Gandum menyukai udara dingin, karena itu di tanam bersamaan dengan musim gugur, saat musim panas tahun depan mereka akan siap di panen.

Untuk menanam gandum, warga saling bergotong royong mengangkut air dari sungai, menyirami ladang hingga tanah basah. Alira menyeka wajahnya yang penuh peluh, wajahnya sedikit merah, perpaduan panas karena matahari dan lelah bolak balik membawa air.

Ketika matahari semakin tinggi, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah mengisi perut. 

Ini pengalaman pertama Alira berladang, pinggangnya terasa lepas karenanya. 

Belum lagi matahari terik membuat Alira semakin kelelahan, namun dia tidak mengeluh, sekarang dia hanya memiliki dirinya sendiri, kepada siapa lagi dia bisa mengeluh selain hanya bisa berdiri di kaki sendiri.

Setelah mencuci tangan dan minum semangkuk air yang melegakan tenggorokan, Alira pergi ke dapur, melihat puas adonannya yang mengembang sempurna, menguleni dan memotong adonan untuk membuat bakpao, ketika sedang asik,
terdengar suara berisik dari arah rumah Lu Tao.

Membuat Alira menghentikan kegiatannya, keluar dari dapur, berjalan beberapa langkah, melihat penuh tanya. 

Dia bisa melihat halaman tempat Lu Tao biasanya bekerja, melihat Jin Ma berdiri sembari berkacak pinggang seperti juragan tanah menagih hutang.

" Dasar tidak tahu diri, apa kau tidak tahu di rumah sedang sulit, kenapa kau tidak datang membantu, kau juga tidak pergi berburu lagi.? sudah berapa hari kami tidak makan daging di rumah. ! "  Jin Mn mengutuk kesal, di musim panen yang sibuk, semua rumah petani akan di bantu oleh keluarga, sedangkan dia, Lihat Lu Tao ini, sama sekali tidak bermurah hati untuk menawarkan diri membantu keluarga di ladang, terlebih uang keluarga semakin menipis.

" Ada pesanan, tidak bisa berburu. Kau,,, bukankah kau memiliki tiga putra, suruh mereka membantu di ladang. " Lu Tao menjawab datar, sudah terlalu lelah dengan semua hal dalam keluarganya, dia bukan lagi pria berusia belasan Tahun yang mengemis cinta keluarga, dia hanya ingin hidup tenang tanpa gangguan.

" Bagus, setelah dewasa kau melupakan kebaikan keluargamu, sungguh tidak tahu malu, Ayahmu sedang sakit, sudah sepantasnya kamu berbakti dengan mengurus dan membelikannya obat. " Jin Ma beralasan.

Lu Tao meronggoh sakunya, melihat kantong uang keluar, Jin Ma segera merebut, membuka dan menghitungnya tanpa malu-malu. 

" Apa ! Hanya enam Reel, Apa kau mencoba mengolok ku.! bahkan untuk membeli remah obat saja tidak akan cukup. " Jin Ma berteriak marah, namun bukannya mengembalikan uang itu, dia malah memasukkannya ke dalam saku.

[BL] Tuan tukang kayu yang sangar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang