Bagian Keenam belas

1 2 0
                                    

Alira duduk merenung di dalam kamarnya, ada perasaan asing menelusup dan mengganggu pikirannya selama beberapa hari belakangan, dia tidak bisa bahagia, hanya kesedihan yang melanda.

Pria sebaik Lu Tao harus bersama seseorang yang juga baik, bukan seperti dia yang sudah,,, ahh,, Alira merasa dadanya sesak seperti di remas dan di hujami duri.

Menatap kosong dengan berbagai pikiran berkecamuk, suara mencela berteriak dalam benaknya, berisik hingga mengusik.

Alira menatap benang dan jarum tergeletak di atas meja, ingin mengalihkan semua pikiran kusut yang mengganggu, mata persik Alira menatap jubah tua milik Lu Tao yang dia gantung dengan rapi, ada bekas jahitan asal, serta sobek di beberapa bagian.

Alira meraih jubah itu dan mulai memadukan warna benang yang sesuai, dia memasukkan jarum dengan jemari rampingnya yang sedikit merah muda, benang hijau mulai membentuk pola bambu di setiap bekas robekan.

Ada kepuasan tercipta di sana, pola itu melambangkan ketulusan sang pembuat yang begitu teliti dan hati-hati, tiada lagi robekan tidak terurus, meski masih tidak bisa melunturkan kesan kain tua, namun setiap pola yang terbentuk membuat kesan cantik di beberapa titik.

Ketika kesibukan di lalui, Alira berharap dia kelelahan hingga bisa tertidur dan melupakan semua gelisah yang bertumpuk sedikit demi sedikit perlahan membentuk sebongkah gunung.

Alira tersenyum puas melirik jubah Lu Tao yang nampak lebih baik,
' Ohh,, apa ini tidak sedikit lancang. ?'

Alira tiba-tiba menjadi gugup, bagaimana jika Lu Tao tidak senang dan merasa Alira terlalu lancang dengan membuat pola tidak penting di pakaiananya.

' Aduh,,, apa sih yang aku pikirkan. ' Alira linglung sejenak, hmm,  sudahlah, jika Lu Tao tidak senang, yang bisa Alira lakukan hanyalah meminta maaf.

Dia bergegas ke luar halaman, keduanya secara kebetulan langsung terjerat, menatap dalam diam, hanya mereka sendiri yang tahu apa yang mereka pikirkan.

" Lira. " Suara Lu Tao yang tegas dan dalam itu menyapa lebih dulu, seperti di dera petikan mendayu-dayu Guqin di tepi danau yang bertebaran pohon willow, dedaunan menjuntai ke bawah seolah menari sendu dalam keagunang langit biru di musim panas.

Suara itu langsung menghantam kesadaran Alira hingga linglung,
' Apakah ini.? bagaimana bisa suara itu terasa begitu,, apakah suara Lu Tao biasanya terdengar begitu indah.? ' Alira mengerjab, memastikan dia tidak gila karena keanehan dalam benaknya.

Namun dia hanya di suguhi senyuman Lu Tao yang tulus, bukan jenis ketampanan pria sarjana, lebih seperti senyuman penuh kharisma prajurit yang telah melalui asam garam kehidupan.
' Aduh,, sejak kapan pria ini menjadi terlalu memukau. ' Alira kembali mengutuk hatinya yang tiba-tiba tidak masuk akal.

" Saudara Lu, I--itu,, aku,, maaf, aku tidak meminta ijinmu dan membuat pola di jubahmu. Maaf. " Alira dengan gugup menyerahkan jubah Lu Tao seperti tawanan yang sedang menunggu eksekusi mati.

Lu Tao mengambilnya, mata setajam elang itu melirik beberapa pola indah, jemarinya menyentuh setiap pola dengan hati-hati, senyumnya terasa hangat.

Ternyata senyum tipis yang dulunya nampak ganas itu bisa terlihat begitu manusiawi dan gagah.

Membuat Alira terlena tanpa mampu berkedip. Jenis pria tampan apa yang belum pernah Alira temui, semuanya tidak satupun berhasil menarik minat Alira karena hatinya telah bermuara kepada satu jawara. Namun nyatanya, kali ini, deguban ini berbeda, sungguh membuat kewalahan.

Dia yang keluar dari lumpur, merasa tercerahkan ketika melihat sinar terang rembulan yang tergantung di langit malam, tiada yang tahu ketika keputusasaan menerpa, dengan seutas tali harapan di tengah tebing berangin, manusia menggantung semua nafasnya di sana, berharap seseorang akan datang, meraih tangan dan menyelamatkan nya. Hari ini, melihat senyum lembut itu, Alira merasa tali tipis dalam dirinya yang hampir putus perlahan kembali terjalin, terikat perlahan untuk menopang jiwanya yang hancur.

" Sangat cantik, terima kasih, Lira. Aku suka. Tidak ada yang pernah melakukan ini untukku, kamu adalah yang pertama. " Lu Tao bersuara, matanya menatap Alira lembut seolah enggan berkedip, takut sosok di depannya hilang seperti mimpi jika dia tidak sengaja berkedip.

" Eh. Sama-sama. Saudara Lu. Aku melakukannya tanpa meminta ijinmu, maafkan aku.  " Alira menjawab pelan.

" Tidak perlu, mereka yang dekat tidak akan meminta maaf untuk hal sepele begini, Lira,,, apakah kita tidak dekat.? apakah kamu menganggap aku seperti orang asing.? " Lu Tao memasang wajah sedih, membuat Alira terdiam, mata beruang besar itu kenapa sekarang terlihat seperti mata anak anjing, Ahhhh,,, Alira merasa gemas ingin mengelus kepalanya.

" Tentu saja tidak, Saudara Lu, aku selalu menganggapmu seperti saudara ku sendiri, di desa ini hanya kamu dan kakek Du yang paling aku percayai. " Itu sedikit benar, Alira tidak bisa mempercayai siapapun untuk sekarang, tapi bukan berarti dia mencurigai semua orang secara membabi buta, bisa di bilang dia nyaman bersama Lu Tao, tapi tidak mungkin Alira mengakui itu di depan Lu Tao, jadi dia mengubah kata nyaman dalam benaknya menjadi kata percaya dari mulutnya.

" Saudara. ? Kakek Du.? Hmmm,, " Lu Tao sedikit mengernyit, jelas dia tidak puas, saudara? Lu Tao tidak butuh saudara, yang dia butuhkan adalah pelipur lara,, sudahlah,, tidak apa-apa, saudara hari ini, istri di kemudian hari, hehe,,

' Mimpi saja. ' Lu Tao tidak senang dengan suara batinnya. Tapi tidak bisa menolak, siapa juga yang mau bersama dirinya yang buruk rupa ini.

" Aku sudah punya banyak saudara, mereka merepotkan, aku tidak butuh satu tambahan. " Lu Tao berkata lagi.

" Ohh,, maaf. " Alira bisa mengerti, mereka tidak pernah melewati hidup dan mati hingga bisa menjadi saudara dengan minum arak bersama di depan dupa dan memecahkan mangkuk sebagai pertanda hubungan kesetiaan.

" Hmm,, jangan jadi saudaraku, jadilah Alira ku saja. Seperti sekarang. " Suara Lu Tao tenang, namun tatapan matanya sungguh mampu mengoyak sanubari, hingga Alira terpaksa mundur selangkah demi menenangkan jantungnya yang sudah tidak sehat ini, apa dia mengidap penyakit jantung. Kenapa rasanya sering sekali berdetak tidak karuan. 

" Ohh,, baiklah. " Alira mengangguk kecil, berusaha mengalihkan pandangannya.

' Lucunya ' Lu Tao menatap telinga Alira yang memerah, nampak kontras dengan kulitnya yang seputih giok.
" Masuklah ke dalam jika dingin. "

Alira terperanjat kaget ketika daun telinganya di sentuh lembut oleh Lu Tao, dia tergagap sambil mengelus dadanya seperti orang bodoh. 
" Ap--apa.? "

" Lihat, telingamu merah begini, masuklah, pakai pakaian yang lebih tebal. " Lu Tao tidak terpengaruh oleh ekspresi Alira yang linglung, wajah cantik itu merah sepenuhnya seperti tomat ceri.

" A-aku akan masuk. Saudara Lu aku sungguh berterima kasih atas semua bantuanmu, aku akan selalu mengingat bantuanmu. " Alira tidak menunggu lebih lama, berbalik, ingin segera pergi menyembunyikan diri.

" Lira, aku tidak keberatan membantumu seumur hidupku, jangan jadikan itu beban Hmm. " Lu Tao berkata, membuat Alira terdiam, melirik sedikit, posisi Lu Tao tetap sama, menatap Alira seperti pohon pinus yang menjulang. Pria itu menunggu sampai Alira masuk dan menghilang dalam pandangannya.

Setelah berpisah, Alira masuk ke dalam kamarnya dengan linglung, menggelengkan kepalanya, bersembunyi di dalam selimut, menutupi seluruh wajahnya yang terasa panas seperti berasap.

*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[BL] Tuan tukang kayu yang sangar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang