Bagian keempat

12 4 2
                                    


Hari itu Alira pergi meninggalkan rumah Zihao dengan perasaan kacau yang membelenggu, dia tidak ingin berada lebih lama di tempat itu, tangan rampingnya menarik kain hitam untuk menutupi wajahnya yang berantakan karena memar. Berjalan pelan tertatih-tatih seperti ilalang kering tertiup badai.
Meninggalkan tatapan penasaran beberapa orang yang lewat.
 
Dengan langkah goyah dia berhasil mencapai sebuah jembatan gantung di pinggiran kota, sungai mengalir deras, bebatuan sedikit menonjol di beberapa tepi yang terlihat.

" Ha. ha " Alira tertawa hampa, menatap langit dengan mata kosong, Air matanya sudah kering, namun sinar mata dalam irisnya redup.

Lebih baik mati bukan,? dia sudah terlalu rusak, dia,, kotor, rasa jijik menghantui Alira seperti ribuan serangga menggerayapi tubuhnya.

Alira meremas tali jembatan  hingga baku tangannya memerah, dalam gundah penuh putus asa, langit nampak cerah dengan biru indah, dua sisi saling bertolak, seolah mengejek sosok rapuh yang berdiri sambil terus menatap kosong aliran air yang deras bergemuruh. 

" Tuan muda, apa yang ingin anda lakukan? " Suara panik yang familiar membuat Alira menoleh dengan tatapan nanar. Pria ini, dia pasti juga tahu semuanya, Alira merasa jantungnya di robek hingga ratusan potong.

" Tuan muda, ayo bicarakan baik-baik, ayo pulang ke rumah. " Suara itu adalah suara kepala pelayan Zihao, berdiri di tepi jembatan berusaha mendekati Alira dengan gugup. 

Alira tidak menjawab,
" Heh "
Hanya tawa konyol yang dia keluarkan, mata itu kosong tanpa ekspresi, hanya suara aliran sungai yang menderu-deru yang mencapai indera pendengarannya.

" Tidak,, Tuan mu---- "
Suara guyuran air terdengar, riak sungai bergejolak namun sosok mungil lemah itu tak terlihat, hanya dalam hitungan detik, riak bulat menyebar lalu lenyap, menyisakan arus menuju hulu. Sosok paruh baya itu terdiam lama sebelum akhirnya berbalik pergi.

*****

Beberapa penduduk sedang duduk santai di tepi sungai, ada yang sedang makan siang, mencuci muka, atau sekedar buang air kecil. Mereka adalah karavan kecil yang di sewa untuk alat transportasi. Ada total tiga gerobak sapi yang berjalan bersama, satu gerobak akan mengangkut setidaknya enam sampai tujuh penumpang. Kereta kuda terlalu mahal, biasanya penduduk menengah kebawah akan menyewa kereta sapi. Meski harus menempuh waktu lebih lama.

" Ahhhhh, tolong,,, ada, ada mayat. " Suara memekik histeris membuyarkan kegiatan semua orang, semua berdatangan untuk melihat asal kebisingan.

Di tepi sungai yang mengalir deras, sesosok tubuh terbaring tak bergerak dengan luka di sekujur tubuh.

Beberapa wanita nampak menonton ketakutan, maklum saja, ini pertama kalinya mereka melihat mayat secara langsung.

Suara berisik itu membuat seorang pria tua mendekat penasaran, ketika dia menatap sosok yang tergeletak di tepi sungai dengan bibir membiru, dia merasa sedikit familiar, meski ada memar di wajahnya, segera dia mengenali sosok itu setelah melihat lebih dekat.

" Astaga " Pria tua itu segera berlutut memeriksa nafas serta denyut nadinya.

" Hei,,Apa yang kamu lakukan. ? " Seseorang bertanya segera, melihat ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang lain di sekitar, jika tidak, bisa-bisa mereka di curigai membunuh orang.

" Memeriksa. " Pria tua itu berkata penuh tekat, rambut serta alis putihnya membuat penampilannya nampak bersahaja, mata senjanya menyipit, merongoh saku pakaiannya, mengambil sebotol porslen, mengeluarkan dua pil hitam pekat dan memasukkannya ke dalam sedikit air, lalu membantu pemuda penuh luka itu untuk minum seteguk demi seteguk. Meski sulit namun dia tidak menyerah, di bantu seorang pria Yue, mereka berdua berusaha membuat obat itu bisa di telan.

[BL] Tuan tukang kayu yang sangar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang