Anggi berusaha mengingat kembali siapa Aksara. Dia ingat-ingat pertemuannya dengan Aksara. Bagaimana wajah Aksara familiar baginya?
Seseorang menggeret kursi tidak jauh dari tempat Anggi duduk. Suara decitnya menyadarkan Anggi pada realita waktunya sekarang. Anggi tatap sekelilingnya. Ruang belajar itu sudah sepi, menyisakan empat anak di sana termasuk Anggi.
Anggi lihat arloji di tangan kirinya. Jam delapan kurang lima menit malam. Anggi membereskan barangnya tergesa. Setelah yakin tidak meninggalkan barang di mejanya, Anggi pergi keluar.
Hujan.
Anggi menatap lapangan utama kampus yang basah bermandi hujan deras. Bagaimana dia bisa sampai ke gerbang dan naik bus untuk pulang tanpa basah?
Anggi berdiri di depan pintu perpustakaan, menunggu kemungkinan hujan akan reda sebentar lagi. Suara petir terdengar. Anggi cepat-cepat menutup telinganya. Tidak, Anggi tidak takut pada petir. Dia hanya tidak suka dengan suara keras.
Anggi maju beberapa langkah, mendekati ujung kanopi teras perputakaan utama kampus. Dia lihat sederas apa hujan malam itu dengan lebih dekat. Dia hela nafas pelan. Sebentar lagi bus terakhir akan datang, mungkin dia harus pesan ojek online dari sekarang.
Anggi menatap layar ponselnya yang menampilkan aplikasi ojek online. Tiba-tiba payung berwarna hitam yang masih terlipat itu berada di atas ponselnya. Anggi menoleh, menatap pemberi payung itu dengan lebih seksama. Belum sempat Anggi berucap, laki-laki itu telah pergi, berlari dalam hujan, berlindung di bawah jas hujan yang dia bentangkan.
"Aksara, tunggu," panggil Anggil. Tapi laki-laki itu telah jauh. Suara dering telfon dari ponsel Anggi menyadarkan Anggi kalau dia harus bergegas sebelum bus terakhir pergi.