Anggi yang tidak suka dengan ketidakpastian memutuskan untuk pergi ke gedung psikologi. Dia menunggu laki-laki tinggi dan manis itu di selasar gedung. Aneh rasanya jika dia menunggu Aksara di depan kelasnya. Alhasil Anggi tunggu si pemilik payung dalam genggamannya itu di sana.
Lima belas menit berlalu. Jam besar di salah satu dinding selasar menunjukkan pukul tiga sore. Tidak lama Aksa berjalan ke arah keluar gedung. Anggi yang melihatnya langsung mengejarnya, mencegat laki-laki yang ditunggunya itu.
"Aksara," panggil Anggi. Aksara menatap Anggi. "Aku mau balikin payung," kata Anggi.
"Lo bawa payung?" tanya Aksara. Anggi menggeleng.
"Bawa aja. Hari ini hujan," kata Aksara.
Tepat saat Aksara menyelesaikan kalimatnya, hujan deras datang tanpa aba-aba. Anggi menoleh ke lapangan yang kini basah. Beruntung mereka berdiri di teras gedung psikologi, tak harus berlarian seperti anak-anak yang kini lalu lalang.
Selasar mulai penuh. Anak-anak menjadikan tempat itu berteduh sembari menunggu hujan reda dan kegiatan selanjutnya. Anggi dan Aksara masih saling tatap.
"Mau pulang?" tanya Aksara. Anggi mengangguk. Kelas sebelumnya adalah kelas terakhir hari itu.
Aksara ambil payung di tangan Anggi, membukanya di pinggiran teras.
"Ayo pulang," ajak Aksara. Anggi mengangguk lalu mendekat. Aksara memegang payung itu, memberi batas antara tubuh mereka dan hujan. Bersama mereka berjalan ke arah halte bus.
Aksara melipat payungnya dia berikan lagi pada Anggi. Saat duduk bersama di bus pun tak ada obrolan atau suara dari mereka. Sampai Aksara turun di parkiran kampus, tempat motornya menunggu.
"Gue turun sini," pamit Aksara. Anggi mengangguk. Dia tatap tubuh Aksara sampai hilang dari pandangannya.
"Loh kok payungnya di aku lagi sih," tanya Anggi bingung.