Ijin (4)

2 0 0
                                    

Jam empat sore saat kelas Aksara hari itu selesai. Aksara pamit dan tinggalkan Melvin yang masih bereskan barangnya. Melvin hanya menggeleng melihat Aksara.

Aksara naik ke lantai perpustakaan lantai lima dengan tergesa. Dia mencari perempuan manis berbadan ramping yang tadi duduk di pojok ruangan. Aksara hanya temukan Dipta yang masih duduk di sana. Dia hampiri Dipta yang sedang membereskan laptopnya.

"Anggi mana?" tanya Aksara.

"Bisa say hai dulu nggak?" protes Dipta. Akaara bergeming. Dipta menghela nafas.

"Ke kamar mandi dia," kata Dipta. "Cuci tangan habis makan donat." Aksara mengangguk.

"Kenapa emang?" tanya Dipta.

"Mau nganterin dia pulang," jawab Aksara.

"Astaga. Semoga berhasil ya," kata Dipta.

"Lo kenapa?" tanya Aksara.

"Gue capek," jawab Dipta. Dipta sama dengan Aksara, GPA 4/4 achiever. Bedanya Dipta tidak memgambil jumlah SKS lebih banyak. Dipta mengambil 24 SKS setiap semesternya.

"Aksara," kata Anggi yang kini telah berdiri di belakang Aksara. Aksara yang duduk di kursi Anggi berdiri. Dia persilahkan Anggi duduk di kursinya.

"Pulang. Gue mau rebahan," kata Dipta. Dua anak lainnya mengangguk.

Aksara bawakan tas laptop Anggi tanpa suara. Anggi pun membiarkannya. Dipta sudah terlalu lelah hari itu untuk berkomentar. Dipta dan Aksara berjalan lebih dulu sedang Anggi berusaha mengejar langkah besar mereka dengan kaki kecilnya. Aksara sadar kalau Anggi agaknya berlari. Aksara tarik lengan Anggi pelan agar perempuan itu berjalan di depan. Dipta tertawa.

"Lo kecil sih, jadi ketinggalan," ledek Dipta. Aksara tersenyum.

Sampai di halte, mereka menunggu bus datang. Ada satu slot kursi kosong di halte. Dua laki-laki itu menyuruh Anggi mendudukinya sedang mereka berdiri di sebelah Anggi.

"Pulang sama gue aja," tawar Aksara.

"Iya udah. Searah juga kalian," tambah Dipta.

"Kamu tau rumahku dari mana, Sa?" tanya Anggi. Aksara menunjuk Dipta.

"Kalian pernah bareng, gue kira rumah kalian deket," jawab Aksara.

"Waktu presentasi MPD," kata Dipta. Anggi mengangguk.

"Sama Aksa aja lo," suruh Dipta. Anggi mengangguk pasrah. Tidak lama, bus mereka datang dan mereka menduduki kursi kosong yang acak itu.

Aksara bukakan pintu mobilnya untuk Anggi. Dia berikan tas laptop Anggi setelah perempuan itu duduk dan memasang seatbeltnya. Anggi sandarkan tubuhnya. Dihirupnya aroma kopi maskulin yang khas Aksara itu.

"Kenapa naik bus?" tanya Aksara yang kini menatap jalanan di depannya.

"Karena aku bayar pajak. Bus itu fasilitas pembayar pajak. Karena ada bus dari rumahku ke kampus jadi aku naik bus. Toh cuma tiga ribu sekali perjalanan. Capek juga kalau motoran rumah ke kampus. Bensinnya juga lebih mahal dari pada bus," jawab Anggi.

"Anak ekonomi sekali," kata Aksara. Anggi tersenyum.

"Kamu selalu bawa mobil?" tanya Anggi. Aksara menggeleng.

"Beberapa hari ini ayah minta diantar jadi mobilnya gue bawa. Biasanya gue naik motor," jawab Aksara. Anggi mengangguk.

"Gi," panggil Aksara saat lampu merah. Anggi menoleh. Aksara tatap manik mata Anggi.

Lampu hijau menyala. Aksara lajukan kembali mobilnya, memberi jeda pada panggilannya. Setelah mobil jalan beberapa saat, Aksara tak kunjung melanjutkan ucapannya.

"Apa?" tanya Anggi.

"Kalau gue chat lo nggak papa?" tanya Aksara.

"Nggak ppa," jawab Anggi.

"Kalau gue minta lo temenin gue jalan boleh?" tanya Aksara lagi. Anggi menatap Aksara.

"Boleh," jawab Anggi.

"Kalau gue antar jemput lo gimana?" tanya Aksara.

"Nggak gimana-gimana," jawab Anggi.

"Kenapa sih, Sa?" kini Anggi yang bertanya.

"Kalau gue ijin deketin lo boleh?" tanya Aksara.

Mereka terdiam. Aksara takut kalau Anggi tidak memperbolehkannya. Anggi? Dia berusaha memelankan detak jantungnya yang tiba-tiba cepat. Anggi mencoba bernafas lebih pelan sebelum menjawab.

"Boleh," jawabnya.

Get CloseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang