Peramal Cuaca (1)

5 0 0
                                    

Hujan datang dari siang. Matahari tak nampak semenjak sore, membuat langit intim dengan hujan. Langit begitu kelabu sekarang. Rasanya enggan untuk berpindah saat telah menemukan keteduhan.

Kampus tampak sepi malam itu. Tidak ada anak-anak yang berlari mengejar waktu tapat ormawa. Tidak ada anak anak klub olahraga yang berlari mengitari kampus. Hujan masih sama, deras menyisakan gemuruh langit.

Salah dua anak yang masih setia di perpustakaan adalah Dipta dan Anggi. Sedari siang sebelum hujan, mereka telah di sana mengerjakan beberapa tugas. Sekali mereka keluar untuk makan sore di penjual nasi keliling dan makan di lorong perpustakaan. Setelahnya mereka kembali ke depan laptop mereka, menyusun essay studi kasus.

"Udah jam 7, mau bus terakhir. Pulang yuk, Dip," ajak Anggi.

"Mager nih. Gue males kehujanan," kata Dipta.

"Turun dulu gimana? Lihatin hujan," ajak Anggi.

"Dari sini juga kelihatan hujan. Nggak ada suaranya aja," sahut Dipta.

"Kalau ke halte hukum tetep kehujanan ya?" tanya Dipta.

"Dikit," jawab Anggi.

"Yaudah demi bus lo, kita kehujanan dikit ke halte hukum," kata Dipta antusias. Segera dia berdiri lalu memakai tas ranselnya yang sudah dia siapkan sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Ayo, Anggi," ajak Dipta semangat.

"Bosen ya nunggunya?" tanya Anggi.

"Asli. Gue pengen rebahan tapi males pulang basah-basahan. Kalau dikit oke lah," kata Dipta.

"Sebenernya gue mau gelar kasur lantai di pojokan tadi," lanjutnya. Anggi tertawa mendengar ide Dipta.

Mereka turun ke lantai satu. Keadaan lantai bawah perpustakaan lebih ramai. Masih ada beberapa anak di lantai dasar. Dipta dan Anggi berdiri di teras perpustakaan. Mereka tatap hujan deras itu.

"Ini sih nggak dikit kayaknya," kata Dipta. Anggi mengangguk setuju.

Get CloseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang