Peramal Cuaca (2)

5 0 0
                                    

Jam tujuh pagi Aksara sudah berada di kelasnya. Duduk di deretan paling belakang karena dia sadar tinggi tubuhnya. Matahari masih tampak saat itu meskipun tertutup awan tipis.

Siang hari saat mata kuliah ketiganya selesai, hujan mulai turun. Anak-anak berlarian mencari tempat teduh. Selasar gedung psikologi menjadi penuh dengan anak-anak yang berteduh. Beberapa anak nekat menembus hujan yang masih rintik-rintik itu, sedikit berbasah untuk seberangi sisi terpendek lapangan menuju ke tempat tujuan. Aksara buka payungnya, berjalan dibawahnya,  memberikan batas antara hujan dan dirinya. Dia beli makan siangnya di kantin teknik.

Aksara duduk di salah satu bangku yang sudah berpenghuni di sisi lainnya. Dia tinggal tasnya di sana bersama anak itu lalu memesan makanan. Tidak lama, Aksara kembali dengan semangkok mie ayam.

"Nggak sama Aluna?" tanya Aksara.

"Nggak tau jadi ke sini atau nggak. Habis ini lo kelas lagi?" tanya Kaindra. Aksara mengangguk.

"Full class gue sampai malem. Nggak ada jeda lama hari ini," jawab Aksara.

"Lo ambil 24 sks?" tanya Kaindra.

"28, acc dekan," jawab Aksara. Kemungkinan untuk menambah jumlah kelas melebihi batas maksimal memungkinkan jika dua semester sebelumnya mendapat nilai kumulatif sempurna. Aksara selalu mendapat nilai sempurna sejak semester satu, membuatnya bisa mengambil kelas lebih banyak dari yang seharusnya. Harsa juga melakukan hal yang sama di semester sebelumnya. Kaindra mengangguk.

"Lo manggung weekend ini?" tanya Aksara. Kaindra mengangguk. Dia habiskan nasi ayam padangnya lalu menegak habis air mineralnya yang masih setengah botol itu.

"Lo nggak serius ngeband? Lo jago gitar," tanya Kaindra si vokalis dan gitaris band kampus. Aksara menggeleng.

"Masih banyak yang lebih jago dari gue, lo juga lebih jago," kata Aksara. Kaindra mengangguk asal. Aksara habiskan makan siangnya.

"Gue duluan kak," panmit Aksara. Kaindra mengangguk. Aksara pergi ke gedungnya, melawati hujan yang kian deras.

Kelas keempat Aksara akan berlangsung lama. Kelas 3 sks itu akan ditambah 1 sks pengganti pertemuan sebelumnya. Aksara duduk di salah satu kursi sebelah jendela. Dia tatap hujan siang itu yang kini makin deras. Suaranya lebih keras. Anginnya lebih kencang. Udaranya lebih dingin. Akan lebih bahagia jika Aksara tidur di kasur kesayangannya sekarang, menikmati hujan, memeluk gulingnya.

"Aksa, gue boleh duduk di sebelah lo nggak?" tanya seorang perempuan. Aksara melihat sekitar, masih banyak bangku yang kosong.

"Kelihatan?" tanya Aksara. Perempuan itu mengangguk. Aksara mengangguk pasrah.

"Lo punya pacar nggak?" tanya perempuan itu lagi. Aksara menoleh.

"Ada cewek yang gue suka. Dan kalau lo nggak diem selama kelas, duduk di tempat lain aja," jawab Aksara. Perempuan itu mengangguk takut. Dia tetap duduk di sana tanpa suara.

Begitu kelas selesai, anak-anak segera pindah  ke kelas selanjutnya. Lantai balkon di luar kelas yang basah membuat mobilitas melambat. Aksara hampir saja telat. Dia kembali duduk di belakang kelas kecil itu, menatap langit kelabu itu lama.

"Sampai di sini kelas kita hari ini," kata dosen membuyarkan lamunan Aksara. Aksara tersadar lalu membereskan barangnya. Dengan hati-hati dia turun dari lantai empat ke lantai satu.

Tak banyak anak yang tersisa di gedung psikologi. Ditambah hujan deras, mungkin sebagian besar sudah sampai di rumah, memeluk guling mereka. Aksara buka kembali payungnya. Langkahnya membawanya ke depan perpustakaan utama kampus yang searah dengan jalannya menuju halte.

Terlihat dua orang yang dikenalnya sedang berdiri di teras perpustakaan. Sepertinya mereka sedang berargumen kecil. Aksara tersenyum. Dia dekatkan langkahnya pada dua orang itu.

"Nggak bawa payung?" tanya Aksara. Anggi dan Dipta menatapnya lalu menggeleng.

Get CloseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang