Bukan rahasia umum lagi jika Dipta adalah seorang social butterfly. Dipta mudah ramah pada siapapun. Temannya pun dari ujung kampus ke ujung kampus lainnya. Dirinya yang supel membuat banyak orang yang meminjam telinganya, bercerita dan berkeluh kesah padanya. Dipta pun dengan senang hati menjadi pendengar mereka.
Kadang rasa penasarannya yang tinggi membuat dia bisa meluluhkan seseorang agar orang itu mau membuka dirinya dan bercerita padanya. Belum lagi sifat gigihnya, yang yang membuatnya tidak mudah menyerah. Dipta bisa membuat rencana agar rasa penasarannya terjawab. Teman satu tim basketnya tahu bagaimana pesona Dipta yang tertutup wajah kenakannya. Harsa pun pernah berkata kalau Dipta cocok menjadi agen rahasia.
Kini Dipta duduk bersila di kasur Aksara, siap menagih cerita si pemilik kamar yang duduk di kursi belajarnya. Dipta menunggu temannya dengan sabar, sedang Aksara hanya menghela nafas pasrah.
"Jadi lo ketemu Anggi tuh gimana? Dimana?" tanya Dipta. Ingin segera rasa penasarannya terjawab.
"Hmmm," gumam Aksara berpikir sejenak. Dia memutar kursinya menghadap Dipta. Dia tatap langit langit bertempel goals hidupnya yang saat itu bertuliskan "IPK 4".
"Waktu SMA gue ikut lomba Mind Maping. Anggi juga ikut. Punya tim dia bagus banget. Dia juga bagus banget waktu presentasi sama jelasin ke panelis juri. Menurut gue punya tim dia yang paling bagus, tapi dia dapet juara dua. Gue nggak bilang kalau juara satunya jelek, tapi punya Anggi lebih bagus. Gue juara tiga," cerita Aksara.
"Kalau gue jadi dia, gue bakal kecewa banget sama penilaian juri. Tapi Anggi bilang 'Keren banget kita juara dua. Next time kita menang, kalau nggak berati Tuhan lagi persiapin sesuatu yang lebih baik buat kita. Makasih ya teman-teman. Kalian paling keren.' Gue yang nggak jauh dari dia bisa denger. Gue suka mentalitas dia. Gue kira dia mau masuk psikologi, ternyata masuk ekonomi finance haha," lanjut Aksara lalu tertawa kecil.
"Lo masuk psikologi gara-gara dia?" tanya Dipta.
"Nggak. Nilai gue nggak bagus bagus banget, jadi milih IPS," jawab Aksara.
"Terus yang payung waktu maba itu?" tanya Dipta penasaran. Aksara menghela nafas. Dia pun sadar kalau pada akhirnya dia akan bercerita pada Dipta karena Dipta tidak akan menyerah sebelum rasa penasarannya terjawab.
"Waktu itu hari terakhir Club Fair. Udah agak sore dan kampus udah sepi. Dia di depan selasar FBE. Gue dari kantin neduh juga di sana. Kasian dia nggak pulang, gue pinjemin payung. Karena udah sore banget, langsung gue tinggal, dia nggak sadar kalau itu gue," cerita Aksara.
"Pdahal dia sering ketemu Yaya di psikologi, tapi nggak pernah inget gue," lanjutnya.
"Dia ngerasa familiar sama lo makanya tanya ke gue," kata Dipta.
"Tapi aneh juga lo sering sama gue tapi dia nggak notis gue," kata Aksara.
"Itu mah dia pikunan. Dia sampai harus bikin jadwal perjam biar nggak lupaan," kata Dipta.
"Lo suka Anggi?" tanya Dipta. Aksara menatap Dipta.
"Gue bingung mau deketin gimana. Gue kaget waktu dia tau nama gue. Gue juga kaget dia mau temenan sama gue," kata Aksara.
"Nah itu, lo deketin aja sekalian. Dia supel, mau temenan sama siapa aja. Gas sih kata gue," kata Dipta.
"Ya nanti gue beli payung," kata Aksara.
"NGGAK GITU, AKSA," kata Dipta prustasi.