Malam itu hujan tak kunjung reda. Angin masih kencang seperti sebelumnya. Daun-daun pohon kelapa yang tertanam disekitar lapangan upacara itu bergerak kencang mengikuti angin. Dua anak berdiri di depan perpustakaan utama kampus, memikirkan cara mereka bisa ke halte tanpa basah.
"Nggak bawa payung?" tanya Aksara tiba-tiba berdiri di depan mereka. Langkahnya mendekat. Dipta memeluk temannya itu.
"Sepayung bertiga aja. Lo penyelaman, Sa," kata Dipta. Aksara menghela nafas pasrah.
"Lo liat segede apa payung gue? Lagian udah dibilang hujan masih nggak bawa payung. Ngerepotin," kata Aksara. Anggi tatap Aksara.
"Eh maaf ngerepotin," kata Anggi. Dua cowok itu menoleh.
"Gue lari aja nggak papa," kata Anggi lagi.
"Bukan gitu maksud gue, Gi. Sorry," kata Aksara. "Tapi ini payung nggak bisa bertiga."
"Lo bolak-balik aja, Sa. Habis anter gue ke halte terus lo anter Anggi ke halte," ide Dipta.
"Nggak tau diri," kata Aksara. Dipta tertawa. Aksara serahkan payungnya pada Dipta. "Lo yang bolak-balik."
"Iya deh, iya," kata Dipta pasrah.
"Lo bawa motor, Sa?" tanya Dipta.
"Bawa mobil," jawab Aksara.
"Nah itu Anggi anterin pulang. Kasian dia ngebus nanti turun bus kehujanan," kata Dipta.
"Aku bisa minta ayah jemput di halte deket rumah kok," kata Anggi.
"Searah sih," kata Aksara. Dipta jentikkan jarinya lalu tersenyum.
"Gue anter Anggi dulu ya," kata Dipta. Aksara mengangguk. Dipta memayungi Anggi samapi ke halte lalu kembali untuk menjemput Aksara.
"Bilang makasih sama gue," pinta Dipta.
"Thanks," kata Aksara. Dipta tertawa.
Bertiga mereka naik bus ke parkiran kampus yang agak jauh letaknya dari gedung kampus. Motor Dipta yang terparkir tak jauh dari halte parkiran motor, membuatnya sedikit basah tapi dia merasa oke. Sedang Anggi, Aksara memayunginya, berjalan bersama ke mobil hitam Aksara.
Aksara bukakan Anggi pintu lalu menutup pintunya segera agar air hujan tak masuk membasahi Anggi. Aksara taruh payungnya di kursi belakang lalu menyalakan mesin. Dia duduk dengan tenang di belakang kemudi, seolah tak canggung dengan keberadaan Anggi di dalam mobilnya.
Baunya seperti kopi dengan aksen maskulin. Sangat Aksara. Anggi endus beberapa kali bau mobil itu seolah membuatnya nyaman. Sedikit canggung baginya berada di dalam mobil Aksara berdua.
"Sa," panggil Anggi. Aksara menoleh.
"Kok kamu bisa ramal cuaca?" tanya Anggi. Aksara tertawa lalu tersenyum menatap Anggi.
"Ayah gue tiap pagi nonton berita di TVRI. Di akhir ada segmen ramalan cuaca. Gue mana bisa ramal cuaca, gue bukan dukun, Gi," kata Aksara lalu tertawa lagi. Anggi tertegun. Dia tatap Aksara.
"Tapi ramalanmu selalu benar," kata Anggi. Aksara menatap jalan di depannya lalu megangguk.
"Sugesti. Manusia percaya apa yang mereka ingin percaya. Kalau percaya hari ini cerah, maka hari akan cerah," kata Aksara. "Hal yang sama buat anak basket."
"Lo tau? Manusia berisi enam puluh persen air atau mungkin lebih. Air dalam tubuh memproses sugesti dan doa oleh manusia itu sendiri. Kekuatan sugesti," lanjut Aksara.
"Semoga lo selalu punya sugesti yang baik buat diri lo ya, Gi," tutup Aksara. Anggi menatap laki-laki itu. Anggi pun merasa, kalau dia telah jatuh lebih dalam pada perasaan sukanya.