Paginya, silau matahari yang masuk lewat sela-sela gorden jendela membangunkan Clara yang sejak malam tertidur nyenyak. Sepertinya, malam tadi dia didatangi mimpi yang cukup indah, karena bangunnya ditemani dengan wajah yang amat berseri.
Dari bangunnya, Clara menidurkan kembali tubuhnya meregangkan otot-ototnya dengan posisi tiduran. Tangannya terus mencari-cari benda pipih yang menjadi benda nomor satu paling dicari ketika bangun tidur.
Dahinya mengernyit, saat menyadari tempat berdiamnya Clara kini, rasa-rasanya ini bukan kamarnya. Terlihat dari segala jenis mebel yang terlihat lebih simpel dan biasa aja, beda dengan milik Clara yang segala ruangan diisi dengan benda mahal dan mewah.
Clara turun dari atas ranjang, dan ….
"UWAAAAAA." Dia meloncat kembali ke atas ranjang sambil berteriak ketika kakinya tidak sengaja menginjak sesuatu, seperti tangan besar yang tergeletak di atas lantai.
Suara nyaring tadi mengganggu si pemilik tangan yang tidak lain adalah Alvian. Semalam dia tidak tau harus tidur di mana, jadi lantai beralas karpet yang tidak terlalu tebal dijadikan tempat beristirahatnya malam kemarin. Rasa pegal mendominasi hampir seluruh tubuhnya.
"Ngapain lo di situ?" tanya Clara yang tadi sempat ketakutan hingga selimut menjadi tameng pelindungnya, yang kini masih menyelimuti tubuhnya kecuali area muka hingga ke atas. "Ngagetin aja, tau gak. Nggak ada kerjaan banget jadi orang."
"Saya tidur di sini, gara-gara kamu kemarin." Alvian masih dengan acara meregangkan otot-ototnya. Pikiran kotor tiba-tiba masuk kedalam kepala Clara. Sebelum mengeluarkan omongan murkanya, Alvian berakata terlebih dahulu, "Jangan mikir yang aneh-aneh, kamu sendiri kan yang waktu itu bilang, jangan pernah ada yang masuk ke kamarmu kecuali kamu sendiri, bahkan kamu tulis itu di papan yang digantung di pintu kamarmu. Saya tidak tau harus menyimpan kamu di mana, ya sudah, kamar ini lah yang menjadi tempat kamu tidur."
Padahal, Alvian sudah berusaha menjelaskan panjang lebar seperti itu bertujuan untuk meyakinkan Clara bahwa dirinya tidak melakukan apa pun kecuali menggendongnya hingga ke sini. Tapi, masih saja Clara kesal dibuatnya. Bangkit dari sana dia keluar sambil membanting pintu seperti biasa tanpa memperdulikan rusak apa tidaknya.
Dari luar terdengar teriakan Clara yang nyaring, "kalau lo ketahuan ngapa-ngapain gue, habis lo di tangan gue." Dari dalam Alvian hanya menggeleng sambil membereskan area kasur yang berantakan. Yang Alvian tau meski Clara terlihat galak, pemarah, dan kasar dari luar, sebenarnya dari dalam sana Clara sangat lemah bahkan mudah ketakutan.
Dulu saja, saat pertama kali Alvian menginjakan kaki di rumah keluarga Clara, perempuan itu selalu tidak bisa menatap dengan jelas ke arah Alvian, mungkin sekarang berbeda dia lebih bisa melawan. Meski, kini masih saja terlihat sisi ketakutan pada diri Clara yang sama sekali tidak dia sendiri sadari.
Keluar kamar, menuju ruang bekerja. Kini masih sama rasanya malas untuk pergi ke perusahaan besar itu di tengah kota. Jika bisa di rumah kenapa tidak, toh sekalian juga menjaga Clara di rumah. Kadang, itu lah hal yang paling Alvian pikirkan setiap kali jika dia melangkah keluar rumah. Di mana pun di waktu kapan pun, Clara selalu muncul dalam pikirannya setiap saat, tak pernah lepas dari dalam pikirannya.
Di dalam ruang kerja pribadinya, saat Alvian masih fokus dengan layar laptopnya ponsel yang ditaruh bergetar tanda pesan masuk.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvian, Cinta, dan Clara
Teen FictionSebuah pernikahan bodoh penuh formalitas, tanpa cinta, kasih sayang, atau apalah itu yang berhubungan dengan sesuatu yang manis-masis. Pasalnya, rasa pahit selalu menjadi topik utama pertemuan serumah mereka, hidup mereka hanya dipenuhi: masalah-per...