Bab Enam Belas

15 3 0
                                    

Pulang-pulang sosok Clara sudah tidak ada di atas sofa. Tentu saja Alvian mencarinya, jam menunjukkan pada pukul 22.45, siapa yang tidak panik jika seseorang menghilang pada saat itu. Bahkan, di dalam kamarnya saja tidak ada. Ah, Alvian dengan nekat mencarinya kedalam. Dengan niat menelepon, tiba-tiba terpikir bahwa, Clara pasti akan menolak panggilan teleponnya. 

Di tengah kepanikan, Alvian berjalan ke sana kemari di dalam kamar Clara tanpa takut si pemiliknya marah. 

Saat memperhatikan ruangan itu, Alvian tersadar oleh satu furnitur yang menarik perhatiannya. Warna putih tulang yang mulai memudar, kondisinya sudah tua, boleh jadi itu sudah rapuh karena bahan kayu yang dimakan zaman.

Meja belajar Clara saat masa sekolah dulu. 

Alvian jadi ingat bagaimana Clara merengek hingga marah-marah kalau meja itu tidak dibawa ke rumah ini, dia tidak akan mau tinggal di sini. Dengan paksaan Clara, Alvian mengijinkannya. Pada atas meja terdapat banyak sekali amplop-amplop yang ditempel, di dalamnya penuh dengan kertas yang bertulis tangan Clara. Ada berbagai jenis amplop dengan warna yang berbeda: merah, biru, putih, kuning, hijau, dan hitam.

Dengan rasa penasaran dia membuka amplop berwarna merah, disitu tertulis: "Merah itu marah, tapi merah yang kupunya merah cinta, seperti kata Mei-mei." Alvian tertawa setelah membacanya. Lalu mengambil selembar kertas dari dalamnya dia memilih asal dari banyaknya kertas dalam amplop merah itu. Kasian, amplop itu seperti meminta pertolongan karena sesak dengan banyak kertas yang dipaksa untuk masuk.

Amplop merah, surat ke-12

Entah mengapa, amplop ini adalah amplop paling banyak yang kuisi, padahal rasanya aku belum pernah merasakan cinta yang sesungguhnya. Aku bingung, mungkin aku hanya belum menemukan cinta yang serius dalam diriku. Selebihnya, akankah di masa depan aku bisa menikah dengan layak.

Itu saja, bagi Alvian itu seperti kata-kata asal yang biasa anak muda keluarkan karena rasa penasaran mereka dengan arti cinta. Dan, yang menarik perhatian kata menikah itu. 

Kemudian diambilnya amplop berwarna putih oleh Alvian. Kertasnya hanya ada tiga, Alvian mengambil yang paling pertama. 

Amplop putih, surat ke-1

Ini mungkin hanya sepucuk surat yang menggambarkan kebingungan, apa yang harus dilakukan dan dipikirkan. 

Pertanyaan dalam otak, kadang selalu tak bisa kutulis begitu saja, karena rasanya mencari jawaban secara langsung dan cepat lebih baik dari pada terus kita pendam. 

Tapi, hanya satu yang paling masih kupertanyakan. Cinta itu bagaimana rasanya. Bahagia? Ceria? Atau malah menyakitkan? Aku harap, opsi paling pertama adalah cinta yang bisa kumiliki.

Kertasnya kembali dilipat, dirapikan ke tempat semula. Dengan niat mengakhiri ketidaksopanan yang dilakukan, Alvian kembali tertarik dengan amplop-amplop lain. Seperti yang warna hitam. Dia kembali mengambil, yang paling atas dan lagi sepertinya surat itu baru selesai ditulis baru-baru ini. Amplop ini juga menjadi amplop yang hampir terpenuhi kertas seperti yang warna merah. 

Amplop hitam, surat ke-21

Aku kesal, teramat kesal. Apa jadinya jika terus aku pertahankan, omong kosong yang dia lontarkan seolah tak bisa ku elak, entah mengapa aku tak bisa pergi darinya. 

Apakah … apakah menikah seburuk ini? Apa hanya aku yang mengalaminya saja? Aku juga ingin memiliki pernikahan yang indah seperti pada opsi pilihan pertama di amplop berwarna putih yang kutulis empat tahun lalu, yang terus senantiasa kuingat. Karena itu adalah salah satu cita-citaku.

Dan sekarang, aku dibuat hancur oleh kondisi pernikahan ini. Aku juga ingin memiliki seorang buah hati, tapi bagaimana jadinya jika anak yang kupunya nanti tak mendapatkan kasih sayang, terlebih orang tuanya pun tak pernah saling sayang. Aku tak mau itu terjadi, aku sangat ingin bisa membahagiakan anakku sebagai ibu yang bisa diandalkan.

Alvian … untukmu, aku sangat membenci dirimu yang selalu seperti itu. 

Di akhir kalimat terdapat bekas air yang terjatuh ke sana, bisa di tebak itu adalah tangisan air mata Clara ketika menulis surat itu. 

Salah satu alasan kenapa Clara tak mau ada orang yang memasuki kamarnya yang adalah karena ini, dia tidak mau siapa pun mengetahui sisi lemahnya, termasuk Alvian. Tapi sayangnya, Alvian sudah tau semua. Sedikit demi sedikit dia tersadar bukan hanya Alvian saja yang merasa bahwa dirinya sulit untuk mencari jati diri cinta, tapi Clara juga sama. Dia selalu menangis tiap malam hanya memikirkan arti keseriusan, yang tidak diketahui oleh Alvian. 

***

Bersambung

Alvian, Cinta, dan ClaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang