Kala sampai di tempat, yang tadinya matahari sangat terang kini teduh karena sinarnya terhalang oleh bangunan tinggi dengan papan nama yang besar terpampang nyata tepat dibagian banguan lantai keempat. Bangunan yang tidak hanya berisi para pekerja kantoran, hotel bahkan mal juga ada. Terbagi menjadi beberapa gedung. Yang paling besar bagian perkantoran.
Clara sudah turun terlebih dahulu, Alvian menyusulnya dibelakang. Saat berjalan masuk seluruh pekerja yang bekerja, diam, atau bahkan hanya sedang lewat pun langsung memberi hormat pada Clara dan Alvian.
Memasuki lift, ditekannya tombol bertanda angka dua puluh tiga. Dimana, tempat Viona—ibu dari Clara—biasanya diam disana.
"Ada apa? Pagi-pagi gini udah nyusahin." Clara duduk dengan kaki yang saling bertumpu, pada siapapun dia tetap tidak ada sopan-sopannya. "Ada masalah apa sih, sampai semua harus kesini, gede banget emang? Apa … perusahaan kita bangkrut?" Semua orang di ruangan menggeleng dengan sikap Clara.
Di dalam ruangan bernuansa serba ungu itu ternyata bukan hanya Viona saja yang hadir, ibu serta ayah dari Alvian pun ikut serta duduk disana, kerabat bahkan paman dan bibi.
Ayah Alvian, Mateha tertawa. "Viona, anakmu belum berubah sama sekali ya." Merasa tersinggung Clara mendengkus. "Biar saya saja yang beri tau kalian." Semua orang mengangguk mempersilahkan.
"Mungkin, menurut kalian ini bukanlah masalah serius, tapi bagi kami para orang tua menganggapnya sangat serius." Mateha menyesap kopi dengan nikmat. "Kami bertanya kepada kalian, kapan akan memberikan kami keturunan?" Nada bicaranya memang lembut, sangat. Tapi, entah mengapa rasanya menusuk dalam hati.
Hingga mata Clara membulat, beda dengan Alvian yang duduk diam sejak tadi. Seorang buah hati, sebelumnya mereka sama sekali tak pernah memikirkan kehadirannya. Clara saja belum siap untuk itu, menikah saja masih dipaksakan apalagi nanti memiliki anak.
Clara bangkit dari duduknya. "Apa-apaan sih! Katanya masalah serius, kalau cuma mau bahas yang kayak gini ngapain harus ngundang banyak orang. Apalagi, waktu Clara buat salonan pagi ke buang gitu aja cuma buat bahas masalah sepele yang gak ada gunanya." Dia berjalan keluar dengan amarah, kakinya dihentak hingga terdengar sepatu haknya yang terkena lantai.
Alvian ikut bangkit sambil membungkuk sopan. "Biar saya yang urus dia, kalian lanjutkan saja obrolannya." Juga, dia ikut meninggalkan ruangan.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvian, Cinta, dan Clara
Novela JuvenilSebuah pernikahan bodoh penuh formalitas, tanpa cinta, kasih sayang, atau apalah itu yang berhubungan dengan sesuatu yang manis-masis. Pasalnya, rasa pahit selalu menjadi topik utama pertemuan serumah mereka, hidup mereka hanya dipenuhi: masalah-per...