Keadaan kembali seperti semula setelah dua hari yang lalu mereka menghabiskan waktu bersama di taman hiburan. Hari manis itu seolah lenyap dengan sendirinya.
"Lo keren banget bisa main yang begituan." Clara sungguh senang kala Alvian berhasil menjatuhkan menara kaleng dengan satu lemparan bola saat di taman hiburan, hadiahnya pun tak kalah membuat Clara senang, boneka kelinci besar berwarna merah muda yang lucu.
Itu hanya waktu itu, kalau sekarang.
"Mau boleh?" tanya Alvian, kini sudah rapi dari atas hingga bawah. Dia meminta makanan yang dimasak Clara. Dari aromanya sudah pasti lezat.
"Masak sendiri, gue cuma buat sedikit." Dia kasar kembali. Tidak seperti dua hari lalu.
Clara dengan sengaja menggoda Alvian dengan menyuapkan makanan hasil buatannya itu dengan gerakan lambat. Dia mencoba membuat Alvian tergiur oleh makanan di mulutnya. "Gila ini enak banget, masakan gue emang paling enak sih, dari semua orang yang ada di sini."
Alvian rasanya ingin tertawa setelah mendengar akhir kalimat dari Clara. Maksud semua orang yang ada di sini itu yang hanya Clara dan Alvian, dari awal lah hanya mereka berdua yang tinggal di rumah besar itu.
Sama sekali tidak mendapat makanan, ya sudah, Alvian beranjak langsung dari kursi untuk pergi menuju kantor perusahaan.
"Sebentar," ucap Clara berhasil menginterupsi langkah Alvian. "Gue ikut. Jangan berangkat dulu. Gue siap-siap dulu." Larilah Clara menuju kamarnya, takut jika Alvian akan meninggalkannya begitu saja.
Hingga selang beberapa menit, hampir setengah jam Clara bersiap-siap. Dia muncul dari balik pintu dengan keadaan yang benar-benar rapi, rambut sudah tertata seperti roti-roti yang dikepang, dari atas hingga bawah dibalut oleh pakaian simpel namun terkesan mewah. Begitu menghampiri Alvian, wangi dari tubuhnya menyebar kemana-mana, begitu harum.
"Tadi gue di telpon sama Bunda." Clara berbasa-basi, Alvian menanggapinya dengan senang hati. "Katanya, ada masalah di perusahaan, gue sama lo dibutuhkan kali ini. Lo nggak di kasih tau?"
Alvian menggeleng, dia sama sekali tidak tau.
Pagi tadi, sebelum Clara memasak di dapur. Bunda menelpon, katanya ada masalah di gedung besar kepunyaan keluarganya. Clara awalnya malas, toh dia sama sekali tidak menyukai kena mengena soal perusahaan keluarganya. Tapi, setelah mendengar nama Alvian disebut, dia menjadi semakin tertarik, tidak pernah soalnya Alvian dipanggil ke dalam masalah, biasanya Alvian-lah yang menyelesaikannya. Baik di keluarganya sendiri pun di keluarga Clara.
"Yaudah ayok, malah diem aja." Clara menarik paksa lengan Alvian, jari-jari mungil Clara berusaha menggenggam lengan Alvain yang lumayan berisi itu.
Di dalam mobil, kini sudah tenang. Namun, sebelum Alvian menancap gas Clara manahannya dahulu. "Sebelum itu, gue mau bikin peraturan yang berlaku di mobil ini. Pertama, gue gak mau kalau ada adegan ngerem mendadak, gue gak suka, bahaya. Kedua, jangan marahin gue kalau gue salah." Alvian terkekeh mendengarnya, memang siapa sih yang bisa memarahi seorang Clara yang kalo di tegur malah ngamuk? Nggak ada, sama sekali. "Dan yang ketiga, jangan … main … cium-cium sembarangan di dalem mobil." Clara membuang muka, dia malu ditandai dengan telinganya yang mulai memerah. "Lo harus setuju, pokoknya gak bisa nolak."
Alvian memetikkan jari. "Saya setuju. Tapi, kalau nomor tiga boleh jadi nanti akan berubah, bukan menjadi sebuah peraturan tapi menjadi sebuah kebiasaan."
Clara mengernyit. "Maksudnya? Jadi lo mau cium gue lagi? Gila lo! Enak aja."
Kepala digelengkannya. "La, mana ada seorang suami yang tidak mau memberikan cintanya lewat sebuah kecupan? Semua suami di sana sangat menginginkannya."
"Termasuk lo, gitu?"
"Kalau anda mengizinkan, saya bersedia." Alvian tertawa setelahnya, bahkan saat disela perjalanan dia tertawa dengan sendirinya, mengingat kalimat Clara, "Termasuk lo gitu?" Clara yang di pinggirnya hanya menatap aneh dengan muka yang juteknya.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvian, Cinta, dan Clara
Teen FictionSebuah pernikahan bodoh penuh formalitas, tanpa cinta, kasih sayang, atau apalah itu yang berhubungan dengan sesuatu yang manis-masis. Pasalnya, rasa pahit selalu menjadi topik utama pertemuan serumah mereka, hidup mereka hanya dipenuhi: masalah-per...