Bab Lima Belas

15 3 0
                                    

"Menurut gue jawaban lo sama seperti orang-orang yang mulai jatuh cinta sama pasangannya. Karena cinta yang tak bisa dijelaskan seperti apa itu, kadang adalah cinta sesungguhnya. Banyak di luar sana yang sulit buat ngutarain, tapi malah salah satu dari kalian gak suka karena gak ada kejelasan, malah yang kayak gitu yang biasanya akan baik hubungannya, soalnya mereka masih betah pada pasangannya untuk mencari apa arti cinta yang sesungguhnya. Ya, itu sih tergantung cara berpikir orangnya sih, kalau tiba-tiba lepas gitu aja sih itu goblok namanya. 

"Selain itu juga. Tau gak, apa yang kurang dari kalian selain cinta, setia, dan kekonsistenan? Yaitu ngobrol," ucap Sadipta. "Gue tau mungkin itu bakal susah, apalagi cewek semacam Clara paling anti sama yang namanya basa-basi, tapi ya, dari basa-basi itu bisa jadi malah ada rasa kepercayaan bahwa lo itu bisa jadi tempat nyamannya Clara, tempat Clara bercerita, curhat atau apa kek yang semua-muanya ceritain ke lo."  

"Semoga bisa ya, Dip. Clara agak susah soalnya." Baru kali ini Alvian seperti merasa lelah pada hubungannya. "Tadi aja, dia ngamuk hanya karena perihal seorang anak." 

"Maksudnya?" tanya Sadipta bingung. Dengan senang hati Alvian menceritakan kejadian tadi pagi hingga siang, tanpa ada yang dipotong, tanpa ada yang di sensor, dan dirahasiakan. Karena bagi Alvian, Sadipta adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dia. Bahkan, kalau ada cerita yang orang lain kira adalah masalah aneh atau kecil, Sadipta selalu punya nasihat yang bisa membuat ketakutan kecil itu hilang. 

Dulu, Sadipta pernah bilang. Masalah sekecil apapun ada baiknya kita selesaikan, karena bisa saja itu menjadi masalah yang lebih besar. Yang kecil saja ngeluhnya minta ampun apalagi besar, mungkin bisa jadi pilihan pertama adalah mengakhiri hidupnya. Meskipun kadang, bahasa Sadipta terlalu sulit untuk Alvian cerna, tapi dia tau, jika Sadipta sudah berbicara panjang lebar dia sudah serius dengan ucapannya. Jangan pernah sekali memotong pembicaraan panjangnya, dihabisi oleh mulut pedasnya nanti. Selain bijak, Sadipta memiliki mulut yang kurang ajarnya minta ampun. Tapi, itu hanya sekali-kali, tidak terus dia cecar ke wajah orang lain.

"Kalau gue jadi Clara juga akan sama marahnya. Karena dia tau, buat apa nantinya kalau kalian memiliki anak kalau kalian benar-benar berakhir. Kan, seorang anak itu tidak bisa memilih orang tuanya, dari situlah kita yang nantinya sebagai orang tua harus bisa membuat si anak benar-benar beruntung memiliki orang tua yang baik. Bahkan, hanya komunikasi antar keluar saja bisa membuat anak betah pada keluarganya," ucap Sadipta, dengan pikiran yang hampir melayang karena pengaruh minumannya. 

Kadang, seperti inilah dia, orang bijak yang sangat kecanduan minum. Alvian sudah mengingatkannya kalau dia sangat tidak toleran terhadap minuman beralkohol, bahkan baru minum tiga gelas saja Sadipta pasti sudah ngelantur kemana-mana. 

Dengan Sadipta yang mulai dengan ocehan yang tidak jelas, Alvian hanya menatap langit-langit bar sambil memikirkan Clara yang bahagia karenanya dikepala. Andai, dia bisa membuat Clara tersenyum, dia ingin sekali bisa seperti itu. Karena hanya itu yang bisa membuatnya lepas dari kekangan cinta masa lalu yang masih membelenggu.

***

Bersambung

Alvian, Cinta, dan ClaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang