Amarah masih menderu, benda disekitar menjadi sasaran empuk amukan Clara. Rasanya sakit jika mengingat ucapan Mateha tadi. "Mereka pikir enak digituin apa? BAGI GUE NGGAK, GUE GAK SUKA DIPAKSA!" Lagi-lagi vas bunga dilempar oleh lengan mungilnya.
Padahal, sejak dalam perjalanan pulang Clara banyak diamnya, pandanganya terus kearah luar, tanpa ada kata amarah sedikitpun. Begitu di rumah, meledaklah, disatukan dengan ucapan yang tidak ada baiknya.
"Anjing emang, bisanya cuma nyusahin. Kenapa gue harus nikah sama lo sih?!" Ditunjuk Alvian dengan jari telunjuk Clara. "Kalo keluarga lo butuh bantuan biar perusahaannya gak bangkrut tinggal minta bantuan aja, kenapa haru pake nikah segala sih? Bokap lo aneh."
Alvian hanya diam mendengar. Sesekali, menghela nafas kalau melihat benda terbang lalu terbanting ke arah lantai keramik.
"Gue masih nggak bakal mau maafin lo atas segala yang lo hancurin di kehidupan gue." Jeda, Clara mencoba mengatur nafasnya. "Lo cuma penghancur hidup gue, dengan datangnya lo ke kehidupan gue, mimpi-mimpi gue lenyap karena adanya lo.
"Gue juga pengin kayak perempuan diluar sana, punya suami atau pasangan dengan pilihannya sendiri tanpa adanya campur tangan orang luar di kehidupan gue. Gue tau, mungkin mereka minta anak ke kita cuma masalah sepele, tapi punya anak terlalu cepat itu salah, nggak semua orang bisa ngerawat anak dengan baik meski mereka orang tuanya sendiri.
"Mereka mana tau hubungan gue sama lo itu sehancur apa, nggak kasian apa sama anak kita nanti? Dibiarin gitu aja sama lo karena urusan pekerjaan, dan gue masih belum siap untuk menjadi ibu dari anak itu. Mungkin, gue juga akan sama ikutnya membiarkan anak itu tanpa kasih sayang. Anak itu bukan alat untuk menyatukan keluarga kalau tidak ada cinta didalamnya."
Clara mengacak rambutnya, dia pusing dengan keadaan. Dia bangkit dari duduknya, berdiri ke arah Alvian dengan tangisan yang selama ini dia tahan. "Kenapa, kenapa lo terima pernikahan ini? Kenapa? Bukannya lo masih ada orang lain yang bisa mencintai lo waktu itu kan? Dengan teganya lo melepaskannya gitu aja demi ini. Lo itu brengsek. Udah datang dikehidupan gue dengan masalah yang lo bawa, lo juga udah tega nyakitin hati perempuan yang lo sebut sebagai seseorang paling berarti bagi lo." Clara semakin menangis menjadi-jadi.
Alvian yang sejak tadi diam mendekat, memeluk lekat tubuh Clara, hangat. Di dalam dekapannya Clara masih menangis hingga pundak Alvian basah karenanya.
"Udah, ya. Kalo kamu mau nangis, nangis aja gak apa-apa. Iya, kamu benar saya yang salah, semuanya karena saya karena dengan tidak sopannya datang di hidup kamu yang awalnya tentram. Maafin saya." Alvian mengusap rambut Clara dengan lembut. Saya cinta sama kamu, La. Alvian masih belum berani berucap seperti itu. Dia masih belum siap. "Untuk masalah keturunan biarkan saya yang bicarakan dengan orang tua kita. Jadi, sekarang tenang aja, ada saya."
Yang ditakutkan Alvian selama ini terjadi, Clara menyebut mantan kekasihnya yang selama ini dia tinggalkan begitu saja. Tanpa pamit, tanpa kabar.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvian, Cinta, dan Clara
Fiksi RemajaSebuah pernikahan bodoh penuh formalitas, tanpa cinta, kasih sayang, atau apalah itu yang berhubungan dengan sesuatu yang manis-masis. Pasalnya, rasa pahit selalu menjadi topik utama pertemuan serumah mereka, hidup mereka hanya dipenuhi: masalah-per...