Setelah acara makan malam.
Phoenix menatap Max dari balik meja besar yang dipenuhi dokumen dan map kerja. Cahaya lampu gantung yang temaram memantulkan kilau dari dinding kayu mahoni yang melapisi ruang kerja itu, memberi kesan hangat namun tegas. Ruang kerja Phoenix selalu memiliki aura yang menekan, dengan rak-rak penuh buku tebal dan barang-barang antik yang menunjukkan kejayaan keluarga mereka.
Max melangkah masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya, lalu duduk di kursi di depan Phoenix. Setelah acara makan malam yang berlangsung hangat namun formal, Phoenix mengajak Max untuk berbicara secara pribadi. Esme mengantar Vincent ke kamar tamu, sedangkan Valentine tampak sedikit canggung saat Esme menuntunnya menuju kamar pribadi Max. Valentine sempat melemparkan tatapan gugup ke arah Max, namun hanya dibalas dengan senyum tipis.
Phoenix mengawali percakapan dengan suara yang dalam dan nada yang lugas, "Dad tidak tahu kamu punya kekasih," bukanya, sambil memperbaiki posisi duduknya. Phoenix melepaskan kacamata bacanya dan menatap Max dengan serius, namun tidak menghakimi. Ada ketegangan yang samar di udara, membuat Max merasa seperti seorang anak kecil yang ketahuan melakukan sesuatu di belakang orang tuanya.
Max mengerjapkan matanya, sedikit terkejut dengan awal percakapan itu. Ia merasakan getaran ringan di dalam perutnya, sebuah sinyal dari ketidaknyamanan yang sudah ia duga sejak makan malam tadi, "Apa maksud Dad?" jawabnya, suaranya terdengar datar, berusaha menyembunyikan rasa gugup di balik ekspresi wajahnya yang tenang.
Phoenix tersenyum tipis, tapi tidak menjawab pertanyaan Max langsung. Dia mengalihkan pandangan ke arah jendela besar di belakangnya yang memperlihatkan taman gelap di luar, kemudian berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih dalam, "Kamu tahu rencana Mom?" tanyanya, matanya kini kembali fokus pada Max.
Max menegakkan duduknya, berusaha memahami arah pembicaraan. Jantungnya berdegup lebih cepat, "Rencana apa?" tanyanya kembali, meskipun dalam hati ia mulai meraba apa yang mungkin dimaksud Phoenix.
Phoenix bersandar ke kursinya yang terbuat dari kulit hitam, melemparkan tatapan santai namun penuh arti, "Mom ingin menjodohkanmu dengan cucu teman Grandma," ujarnya, seolah-olah berita itu sudah lama direncanakan dan sudah menjadi fakta yang tak bisa dihindari.
Max menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri. Udara di dalam ruangan terasa lebih berat, seolah ruangan itu menyusut, "Maksud Dad dengan Emelie?" tanyanya dengan suara lebih pelan, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Phoenix mengangguk dengan senyum tipis di wajahnya, seolah menegaskan sesuatu yang sudah jelas, "Sudah tahu ya?"
Max menghela napas dalam. Perasaan lega bercampur frustrasi menghantam dirinya, karena ternyata intuisi yang ia rasakan belakangan ini benar, "Ya," jawabnya akhirnya, nada suaranya terdengar sedikit lebih dingin, "Perempuan itu beberapa waktu lalu terus mencoba menghubungiku. Aku pikir itu hanya kebetulan, tapi ternyata itu rencana mereka." Max meletakkan tangannya di lutut, berusaha meredam gemuruh di dalam hatinya.
Phoenix memandang putranya sejenak, menganalisis reaksi yang muncul di wajah Max. Phoenix meletakkan pena yang sejak tadi diputar-putarnya di atas meja, kemudian mencondongkan tubuh ke depan. Suaranya kini lebih rendah, lebih serius, "Mereka hanya ingin yang terbaik untukmu, Max. Kamu tahu itu," ucapnya dengan nada penuh kebijaksanaan.
Max hanya mengangguk pelan. Ia sudah tahu keluarganya selalu berpikir seperti itu, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada seseorang yang sudah mengambil tempat penting di hatinya. Phoenix melipat tangannya di dada, lalu menatap Max dengan sorot mata yang berbeda, "Dad suka dengan Valentine. Dia terlihat seperti anak yang baik dan penurut."
Max terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil, "She is. Val memang baik dan penurut...," Max berhenti sejenak, menatap lantai seolah mencari kata-kata yang tepat, "Tapi, dia lebih dari itu, Dad."
Phoenix mengerutkan kening, tertarik dengan arah pembicaraan ini, "Maksudmu?" tanyanya.
Max duduk lebih tegak, kali ini suaranya lebih tegas, "Val punya sesuatu yang tidak semua orang bisa lihat. Dia bisa berdiri untuk dirinya sendiri, bahkan terhadapku. Dia tidak sekadar mengikuti apa yang orang lain inginkan."
Phoenix terdiam sejenak, merenungkan kata-kata putranya. Ruangan yang sebelumnya sunyi kini terasa lebih tegang, "Kamu serius dengannya?" tanya Phoenix, kali ini dengan nada yang lebih lembut, seolah ia tidak hanya berbicara sebagai ayah, tapi juga sebagai seseorang yang mencoba memahami putranya lebih dalam.
Max menatap Phoenix, kali ini tanpa ragu. Tatapannya penuh keyakinan, tidak ada lagi keraguan dalam hatinya. Wajahnya melunak saat mengingat Valentine—senyumnya, caranya bicara, dan bagaimana kehadirannya membuat dunia Max terasa lebih lengkap, "Ya, Dad. Aku serius. Aku mencintainya," jawabnya dengan tegas.
Phoenix menyandarkan punggungnya ke kursi, terdiam beberapa saat. Phoenix mengamati Max dengan lebih mendalam, seolah menimbang perasaan putranya dan memahami betapa serius hubungan ini, "Kalau begitu, kamu harus memperjuangkannya, Max. Tapi ingat," Phoenix mendesah pelan, "keluarga ini tidak mudah berubah pikiran."
Ruangan kembali sunyi, hanya terdengar denting halus dari jam dinding antik yang menggantung di sudut ruangan.
💐🍪💐🍪💐🍪
sIAPA KANGEN MAX & VAL, NGACUNGGGGG?????? komen dan votenya dooonggg!
KAMU SEDANG MEMBACA
Max & Val
FanfictionAwalnya Max tidak ingin memiliki pacar dalam waktu dekat, namun karena pertemuan tidak disengajanya dengan Valerie membuat hatinya bergejolak. ©2024, written by neverraven.