BAB 1

679 66 0
                                    

Seogwipo, Jeju.

"Sudah kubilang, Jake, dia suka padamu," ujar Sunghoon sambil mengunyah kimbab yang baru saja ia suapkan ke mulutnya. Pandangannya masih setia mengikuti gerakan sahabatnya, Jake, yang sedang membuka kotak bekal berwarna biru di atas meja.

Jake hanya menghela napas panjang, tak berniat menanggapi ucapan Sunghoon. Ekspresinya tampak malas memikirkan hal itu, sesuatu yang tak luput dari perhatian Sunghoon yang mendengus kesal.

"Kau itu memang tidak peka, tapi ayolah, kami bertiga sudah bisa melihatnya. Dari cara Ningning menatapmu saja sudah jelas kelihatan!" Sunghoon bersikeras. Matanya kini beralih ke arah Ni-ki dan Jungwon, berharap dukungan dari kedua sahabat mereka yang duduk di hadapan mereka.

Jake, yang masih menahan tangannya di atas bekal, menoleh ke arah Ni-ki dan Jungwon, menunggu respons. "Benar, Hyung," kata Ni-ki dengan santai sambil menunjuk kotak bekal yang baru saja dibuka Jake dengan dagunya. "Dia memberimu bekal setiap hari, kan? Hanya kau." Ni-ki menekankan kata-kata terakhirnya, yang membuat Jungwon, yang duduk di sebelahnya, terkekeh kecil.

"Pekalah sedikit, Hyung," sambung Jungwon dengan nada menggoda. "Lagi pula, Ningning itu gadis baik, cantik, dan keluarganya kaya." Ucapan Jungwon itu membuat Jake seketika melotot marah.

"Aku tidak gila harta!" gumam Jake dengan nada serius sebelum menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Ketiga sahabatnya tertawa kecil, mereka sudah cukup lama mengenal Jake dan memahami reaksi tersebut.

Sejak ibunya meninggal, Jake harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri dan adik perempuannya, Eunji. Selepas lulus sekolah menengah, Jake memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bukan karena ia tak ingin, tapi hidup memaksanya memilih. Meski pendidikannya terhenti, Jake selalu berusaha keras agar Eunji tidak mengalami hal yang sama. Dia rela bekerja siang dan malam demi memastikan adiknya bisa terus bersekolah, dan kelak hidup lebih baik daripada dirinya.

Meski hanya lulusan SMA, Jake dulu adalah salah satu siswa terpintar di sekolah. Kini, ia bekerja di perkebunan teh terbesar di Seogwipo, milik keluarga Ningning. Sudah empat tahun berlalu sejak Jake pertama kali bekerja di sana. Di tempat itulah ia bertemu Sunghoon, Ni-ki, dan Jungwon, yang kini menjadi sahabat-sahabatnya. Setiap hari, saat jam istirahat, mereka berkumpul di rumah kaca yang terletak di tengah perkebunan, menikmati waktu makan bersama.

"Kami paham, Hyung," kata Jungwon setelah suasana kembali tenang. "Tapi setidaknya Eunji terlihat sangat menyukainya. Tidak ada salahnya kalau kau coba membuka hatimu sedikit." Ia menambahkan dengan nada lembut, berharap Jake mau mempertimbangkan ucapannya.

Sunghoon yang duduk di sebelah Jake menepuk bahu sahabatnya dengan lembut, kali ini dengan suara yang lebih serius. "Jake, aku tahu Ningning berasal dari keluarga kaya. Tapi menurutku, kau tidak kalah darinya. Kau pekerja keras, bertanggung jawab, dan kau sudah melakukan banyak hal untuk keluargamu, terutama untuk Eunji." Sunghoon berhenti sejenak, memastikan Jake mendengarkannya. "Eunji sudah menganggap Ningning seperti ibu, aku rasa. Lihat saja betapa bahagianya dia setiap kali Ningning datang ke rumahmu. Ningning bukan hanya seorang gadis cantik dan baik, dia juga peduli pada kalian."

Jake terdiam. Ucapan Sunghoon mengalir dalam pikirannya, menghidupkan kembali kenangan saat Ningning sering datang ke rumah. Gadis itu selalu membawa keceriaan bagi mereka berdua, terutama bagi Eunji, yang sering tertawa riang setiap kali Ningning berkunjung. Jake tahu betul, adiknya sangat bahagia setiap kali berada di dekat Ningning. Bahkan, di saat-saat sulit, kehadiran Ningning membawa kehangatan tersendiri di rumah mereka yang sederhana.

Menyadari hal itu, Jake mulai berpikir ulang. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan Sunghoon dan sahabat-sahabatnya. Mungkin sudah waktunya ia mencoba membuka hatinya, setidaknya demi kebahagiaan Eunji yang begitu menyayangi Ningning. Namun, di dalam dirinya, Jake masih merasa ragu. Apakah perasaannya benar-benar tulus, ataukah itu hanya sebatas rasa nyaman karena Ningning selalu ada di dekat mereka?

Jake terdiam, merenungkan semua itu sambil perlahan menyuapkan makanannya, sementara sahabat-sahabatnya mengawasi dengan penuh harap.

***

"Enak, tidak?" tanya Ningning dengan antusias. Matanya berbinar menunggu reaksi dari Jake, yang saat itu sedang mengunyah sepotong cake cokelat hasil buatannya dan adiknya, Eunji. Keduanya mengikuti resep dari video tutorial di YouTube.

Jake, yang tidak pernah pandai dalam hal menyampaikan pujian, hanya tersenyum tipis setelah menelan potongan cake tersebut. "Enak, manisnya pas," ucapnya singkat, namun cukup tulus, membuat Ningning tersipu malu. Pipinya berubah merah muda, senang mendengar pujian sederhana dari Jake.

"Tentu saja enak! Kakak kan tinggal makan saja, kerja kerasnya di dapur ya aku sama Kak Ningning!" celoteh Eunji yang baru saja tiba, membawa tiga gelas teh panas yang masih mengepulkan uap. Ia meletakkan gelas-gelas itu di atas meja dengan hati-hati.

Jake hanya mendengus pelan mendengar ucapan adiknya, sedangkan Ningning terkekeh geli. Interaksi mereka selalu membuatnya tersenyum. Di depan Jake, Ningning selalu merasa nyaman, sementara Eunji selalu berhasil membuat suasana menjadi hangat dan penuh canda tawa.

Namun, momen hangat itu harus segera berakhir. "Aku harus pulang sekarang," kata Ningning tiba-tiba, sedikit menyesal karena harus buru-buru. Ia meraih tas selempangnya dan bersiap beranjak dari kursinya. "Aku sudah janji dengan ibu, mau bantu menyiapkan makan siang."

Eunji yang sedang menikmati waktunya bersama Ningning langsung terdiam. Wajahnya sedikit meredup. "Yah, cepat sekali, Kak," gumam Eunji dengan nada sedih, membuat Ningning tersenyum simpati.

"Kau bisa meneleponku kalau merasa kesepian, ya? Kakak akan datang lagi, dan kita bisa coba bikin menu baru yang lain," Ningning berusaha menyemangati Eunji.

Mendengar itu, mata Eunji kembali berbinar, penuh antusiasme. "Janji, Kak?!" tanyanya, penuh harap.

Ningning tersenyum lebar dan mengangguk mantap. "Janji," jawabnya dengan nada ceria, sebelum mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking Eunji sebagai simbol ikatan janji mereka.

Jake, yang sejak tadi hanya diam mengamati, memperhatikan interaksi manis antara adiknya dan Ningning. Hatinya seketika menghangat saat melihat senyum lebar yang terpancar di wajah Eunji. Ada kebahagiaan yang sederhana namun mendalam saat melihat adiknya begitu bahagia setiap kali Ningning ada di sekitar mereka. Pikirannya pun kembali melayang pada percakapan beberapa hari yang lalu di rumah kaca, saat Sunghoon, Ni-ki, dan Jungwon membicarakan tentang Ningning yang katanya memiliki perasaan lebih dari sekadar teman padanya.

Jake menatap kosong ke arah bekas tempat duduk Ningning. "Mungkin aku memang harus mencoba membuka hati..." gumamnya dalam hati, teringat nasihat sahabat-sahabatnya yang terus menyuarakan hal yang sama.

Tiba-tiba, kesadarannya kembali saat Ningning berbicara, "Aku akan pulang sendiri, Jake." Ningning melambaikan tangan dengan senyum lembut. "Aku tadi bawa sepeda. Lagi pula, aku mau mampir ke rumah bibiku dulu, jaraknya juga dekat dari sini," tambahnya.

Jake tampak sedikit ragu. "Kau yakin?" tanyanya, bersiap meraih kunci motornya. Meski Ningning sudah memastikan bahwa ia akan baik-baik saja, Jake merasa punya tanggung jawab untuk mengantarnya. Namun, sebelum ia bisa berkata lebih banyak, ponselnya berdering dari dalam saku celananya.

Jake mengerutkan dahi, bingung. "Kau yakin bisa sendiri?" tanyanya lagi, tetapi Ningning mengangguk mantap sambil tersenyum lembut.

"Angkat saja teleponmu, Jake. Aku dan Eunji akan jalan ke depan, tidak perlu khawatir." Ningning berkata sambil menepuk pelan lengan Jake, memberi tanda agar ia tidak perlu khawatir berlebihan.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Jake akhirnya mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia berpikir mungkin itu telepon dari Sunghoon atau Ni-ki. Namun, saat melihat layar, alisnya semakin berkerut. Nomor asing tertera di sana, dan itu membuat Jake bingung. "Siapa ini? Salah sambung, mungkin?" gumamnya pada diri sendiri.

Merasa penasaran, Jake akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut, meskipun ada sedikit keraguan dalam dirinya. Sementara itu, Ningning dan Eunji sudah melangkah keluar dari rumah, terdengar samar-samar tawa kecil Eunji yang masih terdengar di halaman depan.


TBC...



From God to Me  [JAKESEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang