Gangnam, Seoul.
"Hey! Heeseung! Bangun, bodoh, ini sudah hampir jam 12 siang!" seru Beomgyu, berusaha membangunkan sahabatnya yang masih tertidur lelap di atas ranjang. Heeseung sama sekali tak bereaksi, tetap tenggelam dalam mimpinya seolah terputus dari dunia nyata. Beomgyu menghela napas panjang, merasa usahanya sia-sia. Pandangannya kemudian tertumbuk pada segelas air di atas nakas, tepat di samping tempat tidur Heeseung.
Senyum jahil langsung tersungging di bibir Beomgyu. "Ini pasti berhasil," gumamnya pelan, sambil meraih gelas kaca tersebut. Dengan tangan terulur, ia memercikkan sebagian air ke wajah Heeseung yang masih terlelap.
Reaksi yang diharapkan pun terjadi. Heeseung langsung terbelalak begitu merasakan dinginnya air menyentuh wajahnya. Tubuhnya spontan bergerak, dan ia segera duduk tegak di atas ranjang, masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
Di sisi lain, Beomgyu hanya tertawa kecil, merasa puas melihat ekspresi sahabatnya yang kaget setengah mati. Heeseung memutar kepalanya, menatap Beomgyu yang masih tertawa geli di sebelahnya. Wajah Heeseung yang awalnya penuh keterkejutan perlahan berubah menjadi datar, tanpa ekspresi. Ia mendengus keras, jelas-jelas tidak terhibur dengan lelucon Beomgyu.
"Ck, tidak ada yang lucu," ujar Heeseung dengan suara serak akibat baru bangun tidur. Ia mengusap wajahnya yang basah dengan kasar, matanya masih sedikit berat, meskipun kini sudah terjaga sepenuhnya.
Beomgyu hanya mengangkat bahu, seakan tak peduli dengan kemarahan sahabatnya. "Salah sendiri, susah dibangunkan. Kau lupa ya? Kau harus kembali ke rumah jam satu siang, dan waktumu tinggal satu jam lagi sebelum bertemu calon suamimu," goda Beomgyu dengan nada meledek.
Sambil terkekeh, Beomgyu bangkit dari tempat duduknya dan mulai melangkah menuju pintu kamar. Sebelum benar-benar keluar, ia menoleh lagi ke arah Heeseung. "Cepat mandi, Hee!" serunya dari luar kamar, nadanya terdengar ceria namun menggoda. Mendengar itu, Heeseung hanya bisa mendengus kesal, hatinya masih sedikit sebal karena dibangunkan dengan cara yang sangat tidak menyenangkan.
Heeseung merebahkan tubuhnya kembali ke tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan perasaan yang campur aduk. Ia semalam memang menginap di rumah Beomgyu. Mereka, bersama sahabat-sahabat lainnya, baru saja mengadakan pesta di Seoul untuk merayakan kelulusan mereka dari universitas. Mengingat mereka baru saja kembali dari Amerika Serikat setelah menyelesaikan studi.
Mata Heeseung berkeliaran di sekitar ruangan, mencoba mengingat posisinya saat ini. "Hanya mimpi..." gumamnya pelan, saat akhirnya menyadari bahwa ia berada di kamar Beomgyu, bukan di Seogwipo atau pun di penginapan, apalagi di rumah Jake.
"Jake..." bisik Heeseung lirih. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat ketika nama itu terlintas di benaknya. Jake. Nama pria yang akan segera menjadi calon suaminya. Nama yang selama ini hanya ia dengar dari ucapan ayahnya, namun kini, sosok Jake terus menghantui pikirannya.
"Apa dia setampan yang ada di dalam mimpiku?" Heeseung bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mimpi itu masih sangat jelas terbayang di kepalanya-Jake dengan senyumnya yang menawan, tatapan matanya yang dalam. Namun, itu hanya mimpi. Sebuah bayangan yang mungkin tidak pernah menjadi kenyataan.
Entah kenapa, sebagian kecil dari hatinya merasa kecewa, bahkan sedih, mengetahui bahwa semua yang ia rasakan tadi malam hanya sekadar ilusi. Ia tertawa getir pada dirinya sendiri. "Sial, aku bahkan jatuh cinta pada seseorang yang belum tentu nyata!" gumamnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Bagaimana jika Jake yang akan ia temui tidak seperti yang ada di dalam mimpinya? Bagaimana jika Jake yang ayahnya maksudkan adalah seseorang yang sama sekali berbeda? Pikiran itu membuatnya cemas dan gelisah.
"A-apa yang harus aku lakukan kalau ternyata dia tidak seperti yang aku bayangkan?" bisiknya, hampir tidak terdengar. Kepalanya terasa berat, dan perutnya bergelora oleh kegelisahan yang tak tertahankan. Ia mencoba mengalihkan pikirannya, namun itu sia-sia. Nama Jake terus berputar-putar di kepalanya, seolah menolak untuk pergi.
Dengan kasar, Heeseung memukul bantal di sampingnya, frustrasi dengan dirinya sendiri. "Sial! Mimpi sialan!" teriaknya, merasa marah dan bingung pada perasaan yang tiba-tiba muncul ini. Ia bahkan belum bertemu dengan Jake, tetapi entah bagaimana, bayangan tentang pria itu sudah membuat hatinya gelisah.
Heeseung menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha menyingkirkan perasaan itu. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, pertemuan dengan Jake sudah di depan mata. Tak peduli seberapa cemas atau ragu ia sekarang, pernikahan itu akan segera terjadi, dan tak ada jalan untuk menghindarinya.
***
Heeseung tertegun. Matanya melebar, dan tubuhnya kaku seolah tak mampu bergerak ketika pria yang dimaksud oleh ayahnya sebagai calon suaminya memasuki ruangan. Pria itu memiliki wajah yang sangat familiar-sangat mirip dengan sosok 'Jake' yang ada di dalam mimpinya. Heeseung hampir tidak bisa mempercayai penglihatannya, mulutnya sedikit terbuka, namun tak ada kata yang keluar.
"Sayang, ini Jake Shim, putra dari mendiang bibi Maretta," ujar Lee Amera, ibunya, dengan suara lembut. Tangan Amera menyentuh lengan Heeseung dengan penuh kasih sayang, berharap bisa membantunya mengendalikan kegugupannya. Namun, sentuhan ibunya hanya sedikit menyadarkan Heeseung dari keterkejutannya.
Jake Shim-nama itu menggema di kepala Heeseung saat pria itu membungkukkan badan, memberikan salam dengan sopan kepada mereka semua. Heeseung tanpa sadar menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering, sementara pikirannya masih sibuk mencerna kenyataan yang ada di depan mata. Mata Heeseung perlahan bergerak, memandangi Jake dari atas ke bawah, menelusuri setiap detail pria itu dengan hati-hati. Wajah Jake yang sedang berdiri di depannya ini memang sangat mirip dengan sosok Jake dalam mimpinya-seolah ia adalah perwujudan nyata dari mimpi tersebut. Namun, ada satu hal yang sangat berbeda. Penampilan keduanya jauh bertolak belakang.
Jake yang hadir dalam mimpinya, sederhana dan kasual, selalu mengenakan hoodie, jaket, atau kaos biasa. Namun, Jake yang berdiri di hadapannya sekarang tampak begitu elegan dan menawan. Ia mengenakan kaos putih polos yang dipadukan dengan blazer hitam yang rapi, selaras dengan celana hitam yang membuat penampilannya terlihat sempurna. Aura pria itu terpancar kuat, seperti seorang eksekutif muda yang berwibawa. Heeseung tak bisa menahan pikirannya yang mulai tak terkendali. "Sialan, dia sangat tampan... bahkan lebih dari mimpiku," gumamnya dalam hati, pipinya mulai memanas, memerah tanpa bisa ia cegah.
Tanpa sadar, Heeseung terus memandangi Jake, terpukau dengan setiap detail wajah pria itu-garis rahangnya yang tegas, bibirnya yang melengkung lembut membentuk senyuman tipis, dan mata yang menatap lurus dengan penuh keyakinan saat ia berbicara dengan ayah Heeseung. Jantung Heeseung berdetak lebih cepat, perasaan gugup menyerang dirinya dari segala arah. Ia bahkan tak sadar sedang terperangkap dalam pandangannya sendiri, sampai tiba-tiba...
Plak! Tepukan keras di paha menyentakkan Heeseung dari lamunannya. "Anak ini, ayah sudah memanggilmu dari tadi, tapi kau malah sibuk menatap calon suamimu saja," ujar ayahnya, Lee Hyun Jae dengan nada bercanda namun terdengar sedikit kesal.
Heeseung langsung menoleh dengan cepat, wajahnya seketika memerah hebat. Ia merasakan darah mengalir ke seluruh wajahnya. Ketangkap basah! Dia tertangkap basah sedang memandangi Jake! Heeseung menundukkan kepala, hatinya dipenuhi rasa malu yang amat sangat. Ia benar-benar tidak tahu harus berkata apa, tubuhnya terasa panas, dan pikiran-pikiran aneh tentang bagaimana Jake mungkin melihatnya sebagai orang aneh semakin membuatnya malu. Kedua orang tuanya terkekeh, tampak terhibur oleh situasi tersebut, sementara Heeseung benar-benar ingin menghilang saja dari ruangan ini.
Di sisi lain, Jake tetap tenang, tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Ia hanya tersenyum tipis, mungkin tidak terlalu memedulikan kecanggungan yang baru saja terjadi. Senyuman itu, sesederhana apapun, justru membuat jantung Heeseung berdetak lebih cepat. Perasaannya semakin kacau, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang.
Tanpa Heeseung sadari, Jake sudah duduk di sofa, tepat di depan ayahnya, bergabung dalam percakapan ringan dengan orang tua Heeseung. Heeseung perlahan mengangkat pandangannya, mencoba menyesuaikan diri dengan situasi di sekitarnya, meski kepalanya masih penuh dengan kegugupan.
Namun Jake tetap tenang, wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda keraguan atau ketidaknyamanan. Ia mendengarkan setiap perkataan orang tua Heeseung dengan sikap penuh hormat. Heeseung hanya bisa diam, hatinya berdebar-debar, penuh dengan ketidakpastian.
TBC...
![](https://img.wattpad.com/cover/377043191-288-k182357.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
From God to Me [JAKESEUNG]
RomanceLee Heeseung mendapati hidupnya berubah drastis, ketika sang Ayah mengajukan syarat tak terduga untuk mendapatkan warisannya. Untuk menerima bagian warisan yang menjadi haknya, Heeseung harus menikahi Jake Shim, putra dari pelayan setia keluarga mer...