BAB 8

970 112 8
                                    

Heeseung berbaring meringkuk di atas kasur, selimut tebal melilit tubuhnya, namun itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit yang mendera. Sesekali, ia mengerang pelan, mencoba menahan nyeri yang semakin menjadi-jadi di perutnya. Wajahnya tampak semakin pucat, dan keringat dingin mulai bercucuran di dahi, meski suhu ruangan terasa sejuk. Matanya tertutup rapat, dan napasnya terasa berat, setiap hembusan seperti perjuangan untuk mengendalikan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Jake masuk ke dalam kamar dengan sangat hati-hati, pintu dibuka perlahan agar tidak menimbulkan suara yang mengganggu. Di tangannya, ada nampan yang berisi semangkuk sup hangat dan segelas air, sementara tangan lainnya menggenggam kantong kompres kecil yang sudah diisi air hangat. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, seolah takut mengganggu keheningan dan keadaan Heeseung yang sedang beristirahat.

Jake menaruh nampan dengan perlahan di atas nakas, tepat di samping tempat tidur. Matanya tak lepas menatap Heeseung, yang masih terbaring tak berdaya dengan mata terpejam dan wajah kusut karena menahan sakit. Kekhawatiran melintas di wajah Jake saat ia mendekat dan menyentuh lengan Heeseung dengan lembut, berusaha membangunkannya tanpa membuatnya kaget.

“Heeseung…” panggil Jake dengan suara yang sangat pelan, nyaris seperti bisikan. Tangannya yang dingin menyentuh lengan Heeseung dengan penuh kehati-hatian, namun tetap saja Heeseung masih terlihat tegang. Matanya masih terpejam rapat, sementara bibirnya sesekali mengerucut menahan nyeri yang semakin menjadi.

Melihat Heeseung dalam kondisi seperti ini membuat hati Jake terasa perih. Sesuatu di dalam dirinya mengaduk-aduk, entah itu rasa simpati atau rasa bersalah karena tak bisa lebih cepat membantunya. Ia lalu duduk di pinggir tempat tidur, tangannya terus membelai lengan Heeseung dengan gerakan yang menenangkan. “Heeseung, kau harus makan sedikit. Setelah itu, minum obat pereda nyerinya, ya?” ujarnya lembut, mencoba membujuk Heeseung untuk bangun. Meski Jake terbiasa bersikap dingin, kini ia tak bisa mengabaikan keadaan Heeseung yang terlihat sangat menderita.

Heeseung perlahan membuka matanya, meski pandangannya tampak sedikit kabur dan tidak fokus. Dia menatap Jake yang kini duduk di sampingnya, meski masih belum bisa mengumpulkan tenaga untuk benar-benar bangun. Wajahnya yang letih menunjukkan betapa besar rasa sakit yang ia alami. “Aku… perutku sakit sekali…” bisiknya dengan suara serak dan nyaris tak terdengar.

Jake tergerak dengan cepat. Dengan hati-hati, ia membantu Heeseung untuk duduk. Ia menyelipkan beberapa bantal di belakang punggung Heeseung agar ia bisa bersandar lebih nyaman. Saat Heeseung sudah duduk dengan sedikit lebih tegak, Jake menepuk-nepuk bantal tersebut untuk memastikan posisi yang tepat, sementara Heeseung hanya menatapnya dengan lemah, kelelahan membuatnya tak banyak bicara.

Jake kemudian mengambil mangkuk sup dari nampan. Ia meniup uap hangat yang keluar dari sup itu, kemudian menyodorkan sendok pertama ke arah mulut Heeseung. “Ayo, makan dulu. Kau perlu tenaga untuk bisa minum obat nanti,” bujuk Jake lagi, kali ini dengan lebih lembut.

Heeseung memandangi sendok di depan mulutnya dengan ragu. Nafsu makannya nyaris hilang total karena rasa sakit yang terus menggerogoti perutnya. Namun, tatapan lembut Jake yang seakan tak ingin ditolak membuat Heeseung akhirnya membuka mulutnya, membiarkan Jake menyuapkan sup hangat itu perlahan.

Suapan demi suapan, meski lambat, Heeseung perlahan mulai bisa menerima makanan ke dalam perutnya. Setiap kali Jake menyendokkan sup, ia melakukannya dengan sabar, memastikan Heeseung tidak terburu-buru. Tatapan Jake terus mengawasi wajah Heeseung dengan cermat, memperhatikan setiap ekspresi kesakitan yang muncul.

Setelah beberapa suap, Jake akhirnya merasa Heeseung sudah makan cukup. Ia lalu mengambil pil pereda nyeri yang sudah disiapkan Eunji di atas nampan. “Sekarang, minum ini,” ujar Jake sambil menyodorkan pil tersebut ke tangan Heeseung. Ia kemudian mengambil segelas air dan mendekatkan gelas itu ke bibir Heeseung, membantunya minum perlahan.

From God to Me  [JAKESEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang