bab 14

4 1 0
                                    

Waktu pemulihan pasca transplantasi jantung telah berlalu. Sabiru yang belum tahu tentang kematian Awana pun masih bisa tersenyum, Alana —saudara kembar Awana itu terus bersama dengan Sabiru.

Tidak ingin jika kekasih adik kembarnya itu bersedih, dia rela berbohong bahkan pindah sekolah dari luar negeri ke sekolah adiknya. Sungguh effort yang tidak main-main, tapi apakah dengan itu dia bisa tenang? Entahlah, yang ada di pikirannya hanya dia ingin memberitahu semua yang dia tahu pada Sabiru.

Seperti pagi ini, Alana tengah menunggu Sabiru di rumah gadis itu. Dia berpenampilan persis seperti Awana dan meninggalkan jati dirinya yang asli. Pikirannya berkecamuk, hingga tanpa dia sadari Sabiru ternyata sudah berada di sampingnya dan memanggilnya beberapa kali, tapi dia tidak mendengarnya.

"Sayang?"

"Wana?"

"Maaf, Wana tadi ngga denger." Sabiru mengulas senyum mendengar ucapan Alana.

"Ngga papa. Ayo berangkat, Biru udah selesai," ajaknya.

Alana turun dari motornya dan memakaikan helm pada Sabiru, sama seperti yang dulu Awana lakukan. Membantu Sabiru naik ke motor nya dan memastikan dia sudah duduk dengan benar lalu melesat dengan kecepatan sedang.

Apa boleh dia menyerah saja? Sulit menjalani hari-hari dengan menjadi orang lain walaupun itu adalah adiknya sendiri. Ingin rasanya dia berteriak menumpahkan segala rasa lelahnya memikul semua beban ini, dituntut untuk bisa segalanya dan itu membuat Alana lelah. Bukan hanya lelah fisik, tapi batinnya juga lelah.

Di permukaan Alana memang bisa tersenyum, tapi apa kabar saat dia sedang sendirian dan berada di kamar? Tempat tidurnya menjadi saksi di mana setiap malam dia selalu menangis, menumpahkan air matanya. Bagi seorang laki-laki, mungkin ini bukanlah hal yang baik, tapi apa salahnya dia yang ingin melepaskan seluruh beban itu?

Di sisi lain dia memang senang bisa bersama dengan gadis yang dia cintai, tapi di sisi lain dia juga lelah berpura-pura menjadi adiknya di depan gadis yang dia cintai itu. Apakah semesta akan menyetujui nya apabila dia mengungkapkan semua kebenaran yang belum gadis itu ketahui?

"Awana, nanti kita mampir dulu ke toko buku, ya?" pinta Sabiru menyenderkan kepalanya di punggung Alana. Hangat, tapi juga dingin.

"Iya, nanti aku tunggu."

"Okey."

Tidak lama kemudian mereka melewati toko buku, Alana memberhentikan motornya dan membantu Sabiru turun.

☁️

Sesampainya di sekolah, Alana tak lupa mengisap kepala Sabiru. Kebiasaan yang sudah mulai dia terapkan beberapa bulan lalu semenjak Sabiru pulih dari sakitnya.

Netra nya menatap Sabiru yang mulai menjauh bersama dengan dua sahabatnya, Chika dan Lala. Sahabat yang selalu ada di sampingnya dan juga sahabat yang sudah mengetahui semua kebenarannya.

Tidak lama setelah Sabiru pergi, tiba-tiba ada suara seseorang menyapa dirinya dan tangan yang merangkul pundaknya. Dia kenal suara itu. Cakra, sahabatnya di luar negeri.

"Bro, lo beneran yakin mau ngelanjutin ini semua?" tanya Cakra. Mereka berdua sudah berjalan menuju kelas mereka. Kelas dua belas IPS satu.

"Gue ngga tau, Cak. Fisik dan batin gue lelah, tapi gue ngga mau ngecewain mereka yang udah punya harapan sama gue."

"Tapi lo ngga boleh cuman mikirin mereka doang, lo juga harus mikirin diri lo sendiri, Na."

"Cak, bisa tolong berhenti manggil gue 'Na'? Gue mohon." Alana memalingkan wajahnya pada Cakra saat dia mendengar nama panggilan yang sama seperti Awana, 'Na'. Nama mereka sama, yang membedakan hanya huruf 'L' dan 'W' saja.

"Sorry, gue bakal usahain." Alana hanya mengangguk sebagai jawaban.

Mereka telah sampai di kelas dua belas IPS satu, kelas yang telah menjadi tempatnya menuntut ilmu beberapa bulan lalu.

Berita mengenai Awana yang kecelakaan telah menyebar ke seluruh sekolah, guru-guru, para siswa dan siswi, karyawan sekolah dan semua penghuni nya turut berduka mendengar salah satu murid di SMA Valhalla Academy. Namun di antara mereka semua tidak ada yang tahu kalau Awana telah tiada, dan yang berdiri di hadapan mereka semua ini adalah Alana, kembaran dari mendiang Awana.

Berita tentang kematian Awana benar-benar di tutup, tidak ada yang tahu kecuali keluarga Alana, keluarga Sabiru (tidak termasuk Sabiru), Chika, Lala dan Cakra. Hanya mereka saja, selebihnya tidak ada.

"Awana, udah selesai tugas lo yang Minggu lalu itu?" Bayu, sang ketua kelas menghampirinya.

"Udah, mau nyontek lu, heh?" Tebakannya benar, Bayu mengambil buku yang baru saja disodorkan padanya.

Alana menatap malas pada Bayu yang tengah asik menyalin tugasnya. Hingga tidak lama kemudian ada pesan yang masuk ke dalam hp nya.

|Mamanya aku
"Awana, belajar yang rajin, ya? Jangan bolos."

Sakit, hatinya sungguh sakit membaca pesan itu. Yang Mamanya ingat hanya Awana, Awana dan Awana. Alana nya kapan? Kenapa dia seolah-olah tidak dianggap?

Apa karena lukanya yang masih berbekas di wajahnya yang nyaris sempurna ini? Dai bahkan dengan kesadaran penuh menutupi luka itu dengan foundation agar benar-benar mirip seperti Awana.

Apakah dia salah mengambil keputusan ini? Harusnya dia saja yang tiada, bukan Awana. Karena bagaimanapun juga, yang ada di pikiran sang Mama hanyalah Awana, Alana anak yang tidak pernah di anggap. Ralat, pernah, hanya sebelum dia mendapatkan luka di wajahnya.

Cakra yang melihat sahabatnya itu termenung menatap layar ponselnya yang telah menghitam pun menepuk pelan pundak sang sahabat, berusaha menyalurkan semangat. Namun sepertinya usahanya itu sia-sia, Alana hanya menatapnya dengan tatapan sendu. Di matanya sungguh banyak rasa lelah, kecewa dan putus asa.

Sebagai sahabat yang baik dan selalu ada, Cakra pastinya juga ikut merasakan hal itu, tapi bagaimanapun juga dia tidak bisa ikut campur dalam masalah Alana kali ini. Biarlah dia membantu sebisanya dan terus memberikan semangat pada Alana, sahabatnya.

"Gue tau lo sedih, tapi jangan tunjukkin itu pada teman-teman Awana di sini."

"Kalau lo mau, nanti jam pelajaran terakhir kita izin dan pergi ke makam Awana buat ngelepas beban lo itu."

"Makasih, makasih udah selalu ada di samping gue, Cak." Alana menghapus kasar air matanya yang hampir menetes.

"Sama-sama, tapi gue ngga butuh makasih. Gue butuhnya tindakan lo, gue yakin kalau lo itu bisa. Semangat!"

"Hm."

Setelah pembicaraan nya dengan Cakra, Alana meminta izin kepada Bayu untuk ke kamar mandi sebentar sebelum sang guru masuk dan memulai pembelajaran.

"Jangan lama-lama, nanti guru masuk lo di Alfa. Mana nama lo paling atas sendiri," jawab Bayu saat Alana meminta izin.

"Gue lelah, tapi gue juga ngga bisa ngelepas beban, tanggung jawab dan amanah ini dengan seenaknya."
–Alana Victoria

Awan Biru AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang