bab 15

7 1 0
                                    

Siang harinya, pukul empat belas lebih tiga puluh menit, Alana dan Cakra benar-benar izin dari jam pelajaran terakhir. Mereka berdua melaju menuju makam Awana menggunakan motor Alana yang dikendarai oleh Cakra. Dia sangat tidak mungkin mengizinkan Alana mengendarai motor di saat pikirannya kalut dan hatinya yang tidak bisa tenang, bukan selamat sampai tujuan yang ada malah mereka berdua pergi ke rumah sakit.

"Alana, lo ngga boleh nangis. Cowok ngga boleh ceneng, Lan!" ujar Cakra saat mereka telah sampai di makam Awana.

"Tapi gue capek, Cak! Gue capek terus berperan sebagai Awana, sedangkan diri gue sendiri ngga gue pikirin."

"Jati diri gue udah hilang beberapa bulan lalu, Cak."

"Gue lelah, batin dan fisik gue lelah. Pikiran gue banyak."

Cakra sungguh tidak tega melihat Alana serapuh ini. Jujur, dia baru pertama kali melihat sosok Alana yang seperti ini. Di luar negeri dulu, Alana adalah sosok yang kuat, tegas dan dingin. Tapi demi adiknya, Alana rela mengubah dirinya yang semua dingin menjadi lebih baik.

Sikap tegasnya masih ada, tapi sosoknya yang kuat saat ini sudah hilang tergantikan dengan sosoknya yang rapuh bagaikan kayu yang terkena rayap. Cakra memeluk Alana dan membiarkan dia menangis di pundaknya. Netra nya menangkap batu nisan yang bertuliskan Awana Victoria.

"Gue kecewa sama lo, Na."

"Awalnya gue pikir lo bakal bisa benerin ini semua, tapi nyatanya lo malah mati dan meninggalkan luka bagi Alana, kakak kandung dan kembaran lo sendiri."

"Gue harap di sana lo lihat sebagaimana rapuhnya kakak lo itu. Batin dan fisiknya sudah terlalu lelah. Gue yang sahabatnya aja ngga tega buat nyakitin dia, tapi lo? Dengan seenaknya lo nyakitin kakak lo sendiri. Adik macam apa kamu ini, Awana Victoria?"

Tangan Cakra terkepal erat setelah mengatakan hal itu di dalam hatinya, tidak mungkin kan dia mengutarakan hal itu di depan Alana? Yang ada malah Alana tambah sedih dan dia menjadi gagal sebagai seorang sahabat yang selalu ada. Bukannya membantu malah menambah beban pikiran.

Sekecewa apapun Alana, Awana tetap adiknya. Adik sekaligus kembarannya yang telah berpulang terlebih dahulu. Dari pukul setengah tiga sampai Maghrib menjelang, Alana dan Cakra masih tetap berada di samping makam Awana. Bahkan mereka juga sudah di minta untuk pulang oleh penjaga di sana, tapi Cakra tidak mungkin meninggalkan Alana sendirian di sana.

"Lana, pulang, ya? Badan lo udah basah dari tadi, gue ngga mau lo sakit."

Alana menggeleng, tatapannya masih tertuju pada nisan Awana. Seolah-olah dia sedang bertatapan dengan adiknya itu. "Ngga papa gue sakit, gue malah lebih bersyukur lagi kalau bisa nyusul Awana di sana."

"Jangan gila lo, Lan! Gue ngga setuju ya kalau lo kayak gitu!"

"Pulang atau gue seret lo, heh?!"

Ucapan lembut tapi mirip seperti bentakan itu sukses membuat Alana berdiri melangkah menuju motornya yang disusul oleh Cakra.

☁️

Suasana sore menjelang malam itu terasa dingin, hujan mengguyur kota Jakarta sedari pukul tiga sore. Cakra dan Alana yang tengah menuju ke sekolah pun terpaksa menerobosnya. Mereka, lebih tepatnya Cakra, dia tidak ingin menunggu sampai hujan sedikit reda karena waktu yang sudah hampir malam dan juga badan mereka yang sudah basah kuyup.

"Lana, jangan tidur lo," tegur Cakra saat dia merasakan kepada Alana menempel pada punggungnya.

"Gue ngga tidur, kok. Gue cuman lelah menghadapi hari ini," jawab Alana dengan lirih, suaranya menyatu dengan suara hujan yang masih belum reda.

"Lana, gue mohon plis. Jaga kesadaran lo setidaknya sampai kita tiba di sekolah." Sembari mengucapkan hal itu, Cakra mengambil tangan Alana yang basah dan dingin untuk terus berpegangan dengannya.

Cakra menambah kecepatan motornya hingga tidak lama kemudian mereka sampai di sekolah. SMA Valhalla academy itu terlihat sangat sepi, hanya ada satpam yang berjaga dan beberapa murid yang menunggu jemputan.

Lelaki itu menjalankan motornya ke arah pos satpam hendak meminta tolong untuk memberitahu orang tua Alana agar segera menjemputnya di sana. Akan sangat berbahaya jika dia membiarkan Alana yang sudah kehilangan setengah kesadarannya itu berkendara di jalanan dengan kondisi yang masih hujan.

"Sebentar saya telfonkan Tuan Ares dan Nyonya Arin dulu. Sebaiknya kamu bawa temanmu itu ke dalam dulu biar tidak kedinginan." Satpam itu langsung mengambil telepon yang tersedia setelah memberi titah pada Cakra.

"Terima kasih, Pak." Satpam itu tidak menjawabnya, hanya mengangguk karena dia sedang menghubungi orang tua Alana.

Tiga puluh menit menunggu, akhirnya Tuan Ares dan Nyonya Arin datang menggunakan mobil dengan perasaan yang khawatir. Lebih tepatnya Nyonya Arin yang sangat khawatir, karena dia menganggap Alana adalah Awana, anak bungsunya.

"Na, bawa gue bareng lo. Atau setidaknya lo hidup lagi dan biarin gue yang tiada." Racau Alana dengan setengah kesadarannya.

Dia diam saja saat orang tuanya membawa dirinya ke dalam mobil. Matanya masih terpejam dan mulutnya yang tidak berhenti berbicara.

"Nak Cakra, terima kasih sudah membantu Awana." Nyonya Arin mendekat setelah membawa Alana ke mobil.

"Maaf Tante, dia Alana bukan Awana." Ralat nya menatap mata Nyonya Arin, hanya sebentar dan setelahnya langsung menunduk menyesali ucapannya barusan. Untungnya pembicaraan mereka ini sedikit jauh dari pos satpam sehingga tidak ada yang mendengarnya selain mereka.

"Ah iya itu maksudnya." Dingin dan tajam, Cakra bisa merasakan itu dari ucapan yang baru saja dikatakan oleh Nyonya Arin.

"Kalau begitu saya permisi, Tante. Maaf atas kelancangan saya barusan." Nyonya Arin hanya mengangguk sebagai balasan, sedangkan Tuan Ares mengamati mereka tanpa berniat masuk ke dalam obrolan.

☁️

Keesokkan harinya, saat Sabiru tengah memakan sarapannya tiba-tiba ponselnya berdering, terdapat pesan masuk di layarnya.

|Awannya Sabiru
"Sayang, maaf, hari ini Wana ngga jemput Biru. Wana lagi sakit, kemarin kehujanan."

Dengan secepat kilat Sabiru membalasnya, tidak banyak, hanya mengiyakan saja. Setelah membalas dia kembali meletakkan hp nya dan kembali melanjutkan sarapan. Dia teringat dengan pesan Awana yang kemarin dia kirimkan, Awana bilang dia akan ke makam saudaranya, tapi siapa saudaranya itu? Dia bahkan tidak tahu kalau ada saudaranya yang telah meninggal.

"Kamu ngga bohong ke aku, kan, Na?" Tangannya mengaduk-aduk makanan yang tinggal sedikit, rasa laparnya sudah menguap entah ke mana setelah dia membaca pesan sang kekasih.

"Aku harap kamu emang benar-benar pergi ke makam, bukan menemui perempuan lain."

☁️Awan Biru Alana


Holaaa! Terima kasih yang sudah mampir di cerita Awan Biru Alana.

Nantikan terus kelanjutan dari cerita ini, guys! Selamat siang.


Cilacap, 07 Oktober 2024


Radenayu02

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Awan Biru AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang