Derap langkah beberapa orang terdengar di lorong-lorong rumah sakit, semakin cepat mereka berjalan semakin cepat pula suara itu. Tuan dan Nyonya Ares—Mama Papa duo kembar, berbelok ke arah kanan. Semakin jauh lorongnya maka semakin minim pula pencahayaan di sana.
Malam yang seharusnya terang kini berubah menjadi gelap, dingin dan sunyi. Sepasang suami istri itu saling menguatkan walaupun beberapa kali Nyonya Arin mengusap air mata yang menetes dari pelupuk matanya.
"Awana gimana, Pa?" tanya Nyonya Arin menatap lurus ke arah depan. Suaranya bergetar dan serak karena terus menangis.
"Kata Alana, anak bungsu kita sedang dalam masa kritis. Karena kehabisan banyak darah dan benturan yang keras." Tuan Ares menggenggam tangan istrinya, dia tahu istrinya pasti akan lebih down jika sudah melihat kondisi anaknya secara langsung.
Mendengar kabar buruk mengenai anak kesayangannya, Nyonya Arin memegang kepalanya. Pandangannya sedikit buram dan terasa sangat pusing. Selain karena mendengar kabar buruk itu, dia juga belum makan apapun semenjak tadi siang.
Firasatnya sudah buruk sedari pagi saat Awana pergi ke sekolah, lalu ditambah dengan banyaknya kasus kecelakaan yang terjadi baru-baru ini juga membuatnya banyak berfikir, dan sekarang firasat itu benar-benar terjadi tadi malam.
Anak bungsunya yang berpamitan ingin bermain dengan teman-temannya ternyata kini harus terbaring lemah di brankar rumah sakit. Bertepatan dengan itu, ternyata Sabiru—kekasih Awana juga ikutan drop karena penyakitnya yang memang harus sesegera mungkin mendapatkan donor jantung.
"Mama, Papa." Laki-laki dengan Hoodie hitam serta celana Levis itu menghampiri kedua orang tuanya yang baru saja sampai.
Dilihatnya wajah sang Mama yang sudah sangat sembab itu membuat hatinya ikut merasakan sakit yang teramat. Direngkuhnya tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya yang langsung membuat sang Mama menumpahkan air matanya.
Pertama kalinya, ini adalah pertama kalinya dia memeluk sang Mama dengan perasaan serta suasana hati yang tidak pernah dia harapkan. Yang di mana di sini salah satu dari keluarganya ada yang tengah mengalami musibah, adik kandungnya sendiri.
"Mama ngga boleh nangis terus, nanti Wana sedih kalau liat Mama masih nangis," ujar Alana sembari menghapus air mata Nyonya Arin dengan ibu jarinya.
"Adikmu bakal sembuh, kan, Na?" Terlihat banyak harapan di mata Nyonya Arin yang ditujukan untuk anak bungsunya, Awana menghela nafasnya.
"Kita do'akan saja semoga Awana bisa kembali sembuh seperti sedia kala, Ma. Yang penting sekarang Mama harus tenangin diri dulu, jangan nangis lagi atau Awana bakal sedih," kata Alana memaksakan senyumnya. Dia melihat ke arah Papanya yang ternyata diam-diam ikut meneteskan air matanya. Namun dengan secepat kilat, air mata itu langsung dihapus begitu Alana melihat ke arahnya.
"Papa ...."
"Temani Mama mu dulu, Papa mau keluar sebentar." Tanpa menunggu jawaban dari putra sulungnya, Tuan Ares langsung pergi dari sana. Alana hanya bisa menatap punggung sang Papa yang semakin lama semakin kecil dan menghilang dalam kegelapan.
Di sisi lain, sama seperti keluarga Awana. Tuan Kevin dan Nyonya Aruna juga tengah menunggu kabar sang Putri semata wayang mereka yang tengah berada di dalam ruang penanganan.
Penyakitnya kambuh kembali, dan kali ini lebih parah dari beberapa bulan sebelumnya. Entah apa yang dimakan dan dilakukan oleh putri mereka selama ini sehingga penyakitnya menjadi lebih parah. Padahal semua makanan dan kegiatan sudah mereka atur sebaik mungkin sesuai dengan informasi yang diberikan oleh dokter yang menangani Sabiru.
"Sayang, kenapa kamu seperti ini, hm? Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai kamu kambuh dan malah lebih parah?" Nyonya Aruna menatap sendu ke arah pintu kaca gelap yang ada di depannya.
Di dalam sana, putri kesayangannya sedang bertaruh antara hidup dan mati, berjuang melawan penyakit yang dideritanya sejak beberapa tahun yang lalu. Awana juga telah mengetahui penyakit Sabiru. Dengan sabar dan penuh perhatian, dia juga ikut menjaga kekasihnya saat mereka tengah bersama.
Dokter keluar dari ruangan itu, beliau melepaskan maskernya dengan wajah yang kusut. Tidak tahu apa yang akan diberikan olehnya sebagai jawaban akan pertanyaan yang pastinya ditujukan untuknya.
"Dokter, bagaimana keadaan anak saya?" Dokter itu menghela nafasnya, berusaha mencari jawaban yang tepat.
"Nona Sabiru ... Nona butuh donor jantung secepatnya, Nyonya." Hanya itu saja yang bisa dia katakan.
Donor jantung? Sudah sejauh itu penyakit Sabiru? Apakah bisa dia mendapatkan donor jantung secepat mungkin? Bisakah putrinya itu kembali seperti semula? Keceriaan yang tidak pernah lepas dari hidupnya?
Suasana terasa semakin hening, hingga tiba-tiba ada seorang perawat yang datang mengabarkan ada pasien yang baru saja meninggal dan ingin mendonorkan jantungnya pada Sabiru.
"Siapa pasien itu, suster?" tanya Nyonya Aruna saat mendengar informasi yang diberikan oleh suster itu. Ada sedikit kelegaan karena putrinya baru saja mendapatkan donor jantung, tapi di sisi lain dia juga khawatir dan penasaran siapa yang dengan sukarela mendonorkan jantungnya itu.
"Nyonya bisa menemui keluarganya untuk informasi lebih lanjut," kata suster itu, kemudian ia berpamitan untuk mengurus pekerjaannya yang lain.
"Pa, kita ke sana sekarang." Tuan Ares hanya mengangguk menyetujui saja, dalam hati dia juga penasaran akan orang yang menjadi pendonor jantung untuk anak semata wayangnya itu.
Di sisi lain, keluarga Awana tengah menunggu di ruang rawat Awana. Ibunya yang masih belum bisa berhenti menangis menambah suasana sedih di ruangan itu.
"M-mama, P-papa."
"Sayang ...." Kedua orang tua Awana mendekat sedangkan Alana menjauh, dia memilih duduk di sofa yang memang tersedia di ruangan ini.
"Sayang, kamu cepet sembuh, ya?" lirih Nyonya Arin masih dengan isak tangisnya.
"Awana n-ngga k-kuat, Ma." Suara Awana terlihat sendu dan suara yang begitu lemah.
"Ngga, Sayang. Kamu harus kuat, Mama bakal masakin makanan kesukaan kamu kalau kamu mau sembuh." Tidak ada yang bersuara setelah Nyonya Arin mengucapkan kalimat itu. Namun, Awana terkekeh kecil setelahnya sebelum kemudian menjawab.
"Awana udah ngga kuat, Ma. Tolong jenguk Biru, Awana ingin mendengar kabarnya," pinta Awana. Alana yang mendengar langsung bersuara.
"Sabiru membutuhkan donor jantung secepatnya, penyakitnya sudah di tahap yang paling serius." Dengan santai Alana mengatakan hal itu, walaupun dalam hatinya dia ikut merasakan sedih.
“Berikan jantungku pada Sabiru, aku harap dengan jantungku ini penyakitnya segera sembuh. Aku mohon, demi hubungan kami yang sudah terjalin sangat lama.” Alana berusaha keras untuk mengatakan kalimat itu, dengan rasa sakit yang terus menerus datang padanya dia menatap penuh harap pada Alana—kakak kembarnya.
"Kamu mau mati dan meninggalkan kami, heh?" Suara Alana menggelegar di ruangan itu setelah mendengar jawaban Awana.
"Ngga, bukan aku ingin meninggalkan kalian. Tapi waktuku hanya sampai di sini saja, kedepannya tolong jaga Sabiru. Aku berharap penuh pada Kakak."
Kondisi Awana kian menurun, nafasnya memburu seiring dengan tubuhnya yang melemas. Alana yang melihat hal itu langsung berlari keluar dari ruangan dan memanggil dokter.
Beberapa saat kemudian dokter datang dengan suster yang berada di belakangnya. Namun kondisi Awana yang memang sudah begitu lemah akhirnya tidak bisa di selamatkan.
Malam ini, tepat di tanggal sebelas bulan Desember Awana menghembuskan nafas terakhirnya dengan begitu tenang. Di mana tanggal itu adalah tanggal Awana dan Sabiru memulai hubungan yang hampir 7 tahun ini. Wajahnya yang pucat terlihat begitu lelah dan senang di waktu yang bersamaan.
Haloo selamat pagi semuanya.
Gimana bab kali ini?
Awana meninggalkan dan Sabiru akan dioperasi. Kira-kira bagaimana perasaan Sabiru saat mendengar kabar kekasihnya telah meninggal dunia?
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan Biru Alana
Novela JuvenilTidak ada perjuangan yang sia-sia, yang ada hanyalah takdir yang belum waktunya. Kisah yang awalnya indah tidak mungkin akhirnya akan indah juga, tetapi tidak selalu seperti itu. Ada yang awalnya indah dan akhirnya juga indah, tetapi ada pula yang a...