bab 11

4 2 0
                                    

“Mungkin jika hati ini ikhlas untuk menerimanya, maka kepergianmu tak akan menjadi derita.”
–Sabiru Putri Ardiyansyah.

🍂

Di perjalanan menuju rumah pribadi Alana, suasana di dalam mobil begitu hening, tidak ada yang berbicara. Jangankan berbicara, menghela nafas saja sangat pelan seperti tak bersuara.

“Lo tahu di mana rumah sakit yang merawat Sabiru, Cak?” tanya Alana memecahkan keheningan.

Cakra melirik sebentar ke arah Alana sebelum dirinya menjawab, Alana pun hanya menatap malah ke luar jendela. “Gue tahu, tapi yang jadi pertanyaan gue, lo mau ke sana pakai identitas asli lo atau adik lo?”

Alana yang mendengar pertanyaan Cakra langsung menoleh, tidak ada senyuman, tangisan, raut wajah bingung atau sebagainya, yang ada hanya lah tatapan tajam dan menyeringai. “Bukannya selama ini gue di anggap sebagai Awana oleh orang tua gue sendiri? Kenapa gue ngga kayak gitu juga ke Sabiru, kekasihnya Awana?” jawab Alana menyeringai dan tatapan mata yang tajam.

“Na? Lo serius?” tanya Cakra tidak percaya mendengar jawaban Alana, sahabatnya.

“Kenapa gue harus bercanda, Cak? Di saat gue ingin mendapatkan cinta gue tapi bajingan itu malah merebutnya?” Bukannya menjawab, Alana malah berbalik tanya yang langsung membuat Cakra terdiam mendengarnya.

“Tapi ...?”

“Sudahlah, Cak. Lagian gue juga pengen balas dendam ke orang tua gue atas perlakuan mereka yang ngga adil,” potong Alana membuat Cakra kembali terdiam.

🍂

Rumah sakit terbesar di kota Jakarta

Alana memasuki pelataran rumah sakit tersebut bersama Cakra, setelah menanyakan di mana ruang rawat Sabiru mereka langsung menuju ruangan tersebut.

Di sisi lain, Sabiru yang baru saja sadar dari pingsannya tadi kembali mencari Awana, kekasihnya yang sudah beberapa hari tidak menjenguknya.

Di luar terdengar suara ketukan pintu, orang tua Sabiru beserta Chika dan Lala saling pandang memandang, sedangkan Sabiru sendiri matanya sudah berbinar mendengar ketukan itu. Di dalam hatinya dia meyakini kalau itu adalah kekasihnya, Awana Victoria.

“Biar Chika saja yang buka pintunya, Tante,” ucap Chika menawarkan diri untuk membuka pintu, setelah mendapatkan persetujuan, Chika langsung berjalan menuju pintu dan membukanya sedikit.

Terkejut? Itu yang di rasakan Chika saat ini. Bagaimana mungkin orang yang sudah tiada bisa berada di sini, di depan ruang rawat dengan tubuh yang baik-baik saja dan tidak terluka seperti waktu itu? Pikir Chika saat melihat dua orang di depannya itu dengan salah satu dari mereka yang sangat dia kenal.

“Siapa, Chik?” tanya Lala menghampiri Chika yang mematung di depan pintu.

“I-ini ...?”

Keduanya sama-sama terkejut melihat sesuatu di depannya, sedangkan dua orang yang tengah menunggu agar pintu sedikit di buka lebih lebar hanya bisa tersenyum kikuk melihat respons kedua wanita di depan mereka.

“Chika, Lala, kenapa ngga di ajak masuk tamunya? Siapa yang datang?” tanya Nyonya Aruna sedikit berteriak dari samping Sabiru yang masih terbaring di ranjang.

“O-oh, i-ini temannya Sabiru, Tan,” sahut Chika, mereka berdua langsung mempersilahkan kedua orang itu untuk masuk.

“A-Awana?” lirih Sabiru saat melihat siapa yang masuk, di lepasnya selang infus yang ada di punggung tangannya dan dengan cepat Sabiru berlari menghampiri laki-laki yang sangat dia kenal itu. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Sabiru langsung memeluknya dan menumpahkan air mata yang ingin dia keluarkan sedari tadi.

Awan Biru AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang