bab 10

11 6 1
                                    

Hari Senin adalah hari yang paling membosankan dan menyebalkan bagi siswa. Karena hari Senin ada upacara yang mana amanatnya itu sepanjang lautan dan selebar daratan. Sabiru, Lala dan Chika saat ini tengah mengibarkan bendera merah putih yang diiringi dengan lagu Indonesia Raya.

Selesai mengibarkan bendera, mereka bertiga kembali ke tempat semula. MC kembali membacakan acara berikutnya.

“Amanat pembina upacara, pasukan diistirahatkan.”

Inilah yang membuat para siswa bosan, guru mulai memberikan amanatnya.

🍂

Ulangan! Itu yang paling di benci saat tiba-tiba guru memberi soal tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Setelah selesai upacara dan diberikan ulangan secara tiba-tiba, apa yang kalian rasakan? Kesal bukan? Itulah yang dirasakan oleh siswa-siswi kelas 12 IPA dua.

“Waktu tinggal lima menit lagi. Lebih dari itu saya tidak akan menerima jawaban kalian.” Guru killer yang paling ditakuti mulai menatap satu-persatu wajah dari murid-murid yang ada di kelas itu.

Sabiru berdiri dari duduknya sembari membawa kertas ulangan, diikuti Chika dan Lala yang berjalan di belakangnya. Mereka bertiga menyerahkan kertas tersebut dan kembali lagi ke tempat duduk mereka.

“Bagus, setidaknya ada yang selesai sebelum waktu habis,” ujar guru itu lagi. Semua siswa-siswi yang belum selesai langsung menjawab asal soal tersebut.

Waktu telah habis, mau tidak mau mereka harus menyerahkan jawaban mereka. Entah itu selesai atau tidak, mereka harus menyerahkannya.

“Terima kasih, saya harap ada salah satu dari kalian yang mendapatkan nilai di atas 90 pada ulangan kali ini. Saya permisi dulu, selamat belajar.” Guru killer itu pun keluar membuat suasana kelas yang tadinya tegang kini berubah menjadi lebih nyaman.

“Semoga jawabanku benar.”

“Aku pasrah jika memang nilaiku di bawah 90.”

“Semoga nilai kita semua di atas 90, walaupun itu tidak mungkin.”

“Semoga Tuhan mengabulkannya.”

“Aku takut dimarahi oleh ibuku.”

“Aku juga sama.”

“Pasrah saja jika nilaiku di bawah 90.”

Sabiru, Lala dan Chika hanya menggelengkan kepala saat mendengar gumaman dari teman-temannya. Mereka juga sebenarnya pasrah tapi tidak selebay teman-teman mereka.

“Kantin?” tanya Chika membuat dua sahabatnya itu mengangguk dengan cepat.

Dengan langkah yang tidak cepat, mereka bertiga pergi dengan sesekali tertawa, entah apa yang mereka obrolkan.

Perjalanan menuju kantin cukup menyenangkan, mereka bertiga langsung memilih tempat duduk setelah memesan makanan. Ketiganya mengobrol hingga tiba-tiba saja Sabiru merasakan pusing yang teramat dalam, dia berusaha untuk menahannya. Tetapi, semuanya menggelap, Sabiru ingin berteriak tapi mulutnya terasa kaku.

“Ya Tuhan, kenapa rasanya sakit sekali? Tolong aku, aku tidak tahu harus berbuat apalagi.” Sabiru bergumam dalam hatinya, dia berusaha untuk membuka mata. Namun, dia tidak bisa.

🍂

Ruangan serba putih dengan bau khas obat-obatan kian menusuk hidung seorang gadis yang baru saja bangun dari tidur panjangnya. Gadis itu mengerjapkan matanya berusaha membiasakan matanya dengan cahaya yang silau.

Seorang gadis datang bersama dengan dokter dan perawat yang berjalan di belakangnya. Terlihat wajah gadis itu sangat khawatir.

“Dokter, cepat periksa sahabat saya.” Gadis yang berdiri di sebelah kiri sahabatnya itu berbicara. Dokter tadi hanya mengangguk, perawat yang bersamanya itu mulai memeriksa infus yang sudah habis separuh. Sedangkan dokter tadi memeriksa denyut nadi dan pernafasan.

Awan Biru AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang