bab 16

1 0 0
                                    

Matahari meninggi dan burung-burung juga mulai berkicau. Langit yang semula gelap kini berubah menjadi terang. Sinarnya membuat seorang pria remaja terbangun dari tidurnya. Rambutnya acak-acakan, raut wajahnya yang lesu dan mata memerah tidak membuat ketampanan pria itu pudar.

Netra nya melirik ke arah jam yang terpasang di dinding, tepatnya di atas pintu. Pria itu meringis melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, ternyata dia terlambat bangun. Padahal dia tidak pernah bangun kesiangan, dia juga merasakan badannya panas dan kepalanya yang pusing.

Dialah Alana, pria remaja yang semalam pulang dari makam sang adik dengan kondisi basah terkena hujan. Alana tidak ingat kapan tepatnya dia pulang dan sampai di rumah. Dia hanya mengingatkan kalau dia pulang bersama Cakra ke sekolah, selanjutnya dia tidak ingat lagi.

Lamunan nya terbuyar saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.

"Sayang, sudah bangun?" Seorang wanita cantik masuk ke dalam kamarnya sembari membawa nampan, wanita itu adalah ibunya. Arin.

"Ma?" lirih Alana saat wanita itu mendekat.

"Maaf, maafkan Mama yang terus menerus menganggap kamu Awana."

"Mama tidak memikirkan perasaan kamu, dan Mama malah seenaknya seperti itu," lanjutnya dengan suara lirih.

"Mama banyak salah sama kamu, maafin Mama, Na." Arin, ibunya itu menangis sembari terus menggenggam tangan Alana.

Alana sendiri tidak tahu kenapa Mama nya itu bisa berkata dan menangis seperti ini, apa ada hal yang membuat Mama nya berubah? Seharusnya dia bersyukur karena Mama nya berubah, tapi dia malah merasa heran dengan perubahan itu.

"Gue harap ini bukan mimpi. Kalaupun mimpi, semoga gue ngga bangun dan makan harapan,"

🍂

Dekorasi pelaminan penuh dengan bunga harum dan kursi-kursi indah yang berjejer dengan rapih. Ada lampu hias juga, entah itu letaknya di bawah ataupun tergantung di atas, di atap pelaminan.

Tenda yang menghadap ke arah pelaminan juga tidak kalah menarik, kursi-kursi dan meja di tata dengan apik dan seperti membentuk sebuah inisial. S & A. Pelataran rumah yang lebar juga memungkinkan untuk adanya panggung hiburan yang akan diisi oleh beberapa penyanyi yang sedang naik daun. Ada juga beberapa idol Korea yang mereka undang khusus untuk pengantin wanita.

Di tembok tempat pelaminan juga terdapat kata 'happy wedding' dan inisial S & A.

Para tamu undangan telah hadir sebagian untuk menyaksikan proses pernikahan dari kedua mempelai, Sabiru dan Alana. Iya, Alana, bukan Awana. Sabiru juga telah mengetahui bahwa Awana sudah tiada.

Hampir satu Minggu Sabiru dirawat di rumah sakit setelah mendapatkan kabar tersebut dan mengunjungi makam sang kekasih. Berawal dari sang Mama yang tengah mengobrol dengan Alana di ruang tamu yang dengan yakinnya beliau menyebut 'Alana' karena sedang tidak ada orang di rumah.

Namun, siapa sangka? Sabiru, si gadis cantik itu memasuki rumahnya sendiri sembari membawa kue ulangtahun untuk mamanya. Dengan ceria dan percaya diri, gadis itu memasuki rumah tanpa mengucapkan salam. Alangkah terkejutnya dia saat sang mama menyebutkan nama itu.

Kue ulangtahun yang dia bawa merosot yang jatuh dan tidak terbentuk. Suara tersebut membuat dua orang yang sedang fokus mengobrol itu mengalihkan atensinya dan betapa terkejutnya mereka saat mendapati Sabiru yang berdiri dengan syok serta kue ulang tahun yang telah hancur di lantai.

"Biru ...."

"Jelaskan semuanya, ALANA!" seru Sabiru menekan kata 'Alana'.

"Kamu duduk dulu, Ru. Biar semuanya bisa jelas. Mama ambilin air minum dulu," ucap Aruna menengahi keduanya.

"Tidak usah, Ma. Lana juga ngga lama, kok, cuman jelasin semuanya ke Sabiru aja." Alana dengan cepat menolak. Sementara Sabiru hanya diam.

"Tidak apa-apa, kalian ngobrol dulu pelan-pelan. Mama tinggal ke belakang, ya," pamit Aruna.

Sepeninggal Aruna, suasana di ruang tamu itu semakin mencekam, tidak ada tanda-tanda akan terjadinya percakapan. Sabiru muak dengan diamnya Alana.

"Jadi, bagaimana?" tanya Sabiru dengan nada yang dingin. Kecewa? Tentu saja! Orang yang kita cintai ternyata sudah tidak ada dan kembarannya malah menggantikan posisi itu. Yang paling membuatnya takjub adalah mereka yang dengan rapihnya menyembunyikan fakta yang teramat besar itu.

"Ru ...."

"No! Panggil Sabiru, bukan Ru ataupun Biru!" protes Sabiru masih dengan suaranya yang dingin. Sungguh, ini bukan seperti Sabiru yang dikenal oleh orang lain. Yang katanya lembut saat berbicara, ramah, tidak suka marah-marah dan masih banyak lagi, tapi yang sekarang adalah kebalikannya.

"O-oke. Pertama, aku mau jelasin kenapa aku nyamar jadi Awana, kekasih kamu." Lalu mengalir lah cerita dari Alana mengenai kembarannya itu.

Hingga dua puluh menit berlalu obrolan mereka baru saja selesai, Sabiru menatap Alana dengan wajah yang tidak percaya. Kekasihnya itu telah tiada? Bagaimana mungkin? Akan tetapi, tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak, kan?

"J-jadi ... Al-Alana udah meninggal?" tanya Sabiru dengan suara bergetar.

"Seperti yang kamu dengar tadi," jawab Alana. "Adikku memang sudah tidak ada bertepatan dengan penyakit jantung kamu yang kambuh."

"Jantung Awana ada padamu, karena dia mendonorkan jantungnya untukmu saat itu," imbuh Alana.

Di sisi lain Aruna yang ternyata sudah selesai mengambil minum pun menahan kakinya saat Alana dan Sabiru memulai pembicaraan. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Bisa antar aku ke makam Awana?" tanya Sabiru dengan lirih, matanya berkaca-kaca menahan tangis, sedangkan kedua tangannya memilin baju yang digunakan.

"Bisa, tapi janji dulu jangan nangis. Atau aku akan sangat merasa bersalah pada Awana, dia menitipkan mu padaku, jadi aku mohon untuk bekerja sama memenuhi amanah tersebut." Alana menjawab dengan serius.

Sabiru terdiam dibuatnya, dia memikirkan apakah dia sanggup atau tidak. Alana yang melihat itu langsung menghela nafasnya. "Besok saja, ya, Ru? Setelah pernikahan kita, aku bakal antar kamu ke sana."

"Pernikahan?" cicit Sabiru.

"Iya, bukankah tadi aku sudah menceritakan semuanya?"

"Sebentar aja, ya? Please," mohon Sabiru dengan mata yang berkaca-kaca. Alana akhirnya mengangguk.

***

Hari pernikahan telah tiba, banyak tamu yang datang, termasuk teman-teman Sabiru. Mereka tentunya terkejut saat mendapatkan undangan tersebut.

Saat ini Sabiru dan Alana tengah berada di atas pelaminan setelah tadi Alana mengucapkan ijab Kabul. Acara selanjutnya adalah resepsi. Tidak banyak yang Sabiru lakukan, dia hanya terduduk sembari sesekali tersenyum saat ada tamu yang naik untuk bersalaman.

"Maaf ...."

Sabiru mendengar kata itu, sangat lirih, bahkan sampai tidak terdengar. Menghela nafasnya dengan keputusan sepihak ini, tapi apa yang bisa dia lakukan? Kekasih tercintanya sudah menitipkan dia pada kakak kembarnya, jadi dia harus menjalankan amanah itu kan?

☁️

"Happy wedding Sabiru dan Alana, berbahagialah walaupun ini bukan kemauan kalian, dan untuk Awana. Semoga kamu berbahagia di sana."—Chika

"Awana, semoga di lain waktu kita bisa bersatu."—Sabiru

"Selamat atas pernikahannya, Ru, Lana. Jagalah dia sebagaimana Awana yang menjaga Sabiru."—Lala

"Terima kasih atas kepercayaanmu padaku untuk menjaga Sabiru, Na. Akan aku usahakan untuk selalu membuat dia bahagia, tenanglah di atas sana adikku."—Alana

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Awan Biru AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang