ihtilam

159 36 8
                                    

Salim duduk termenung di atas sajadahnya, sorot matanya kosong menatap lantai kamar pesantren. Udara dingin pagi itu seolah mencerminkan kebingungan di dalam pikirannya.

 Belakangan ini, Salim merasa ada yang berbeda dengan apa yang ia lihat dan rasakan di sekitarnya. Teman-teman santri putra yang biasanya tampak akrab dan dekat, sekarang terlihat lebih dari sekadar teman di matanya.

Sering kali Salim tanpa sengaja melihat beberapa santri berbagi momen yang menurutnya agak "mesra" untuk ukuran pertemanan. Mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi, tapi entah kenapa Salim selalu saja tak sengaja memergoki mereka. Setiap kali momen-momen itu terjadi, hatinya berdebar. Sesuatu terasa aneh, namun ia tak bisa menjelaskan apa itu. Ada rasa canggung yang tiba-tiba muncul, terutama karena salah satu santri yang ia pergoki adalah teman terdekatnya, Ahmad.

Perasaan waspada dan bingung melingkupi dirinya. Ia mulai menjaga jarak dari teman-temannya, termasuk Ahmad, Ahsan, dan ican teman-teman terdekatnya. Meski hubungan mereka selama ini selalu dekat, kejadian-kejadian yang ia saksikan membuatnya sulit merasa nyaman.

Setiap kali ada yang mendekat, Salim merasa ada sesuatu yang tak nyaman. Ingatan tentang momen yang ia lihat terus berputar di kepalanya. Ia merasa seperti diserang oleh pikirannya sendiri.

"Kenapa ingatan itu terus muncul?" Salim menggerutu dalam hati, sambil mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Setiap kali ia melihat dua santri berduaan, pikirannya langsung teringat pada kejadian-kejadian yang ia saksikan.

Pikiran itu menghantuinya, tak peduli seberapa keras ia mencoba untuk mengabaikannya. Rasa canggung semakin menguasai dirinya, seolah setiap pertemuan dengan teman-temannya sekarang memiliki makna yang lain.

Malam itu, Salim terbaring di atas kasurnya. Ia mencoba memejamkan mata dan melupakan semua yang mengganggu pikirannya. Namun, pikirannya tak pernah berhenti berputar. Lelah dengan pergulatan dalam pikirannya, ia akhirnya terlelap. 

perlahan salim tenggelam dalam mimpi yang samar. Awalnya, semuanya terasa biasa. ia berjalan menyusuri sebuah lorong yang terasa familiar, meski tidak sepenuhnya dapat ia kenali. Lorong itu panjang, dengan dinding yang tampak berkilauan seperti disinari cahaya remang dari jendela kecil di kejauhan.

Di tengah langkahnya, tiba-tiba muncul sosok seorang laki-laki berdiri di ujung lorong. Salim memperlambat langkahnya, mencoba mengenali siapa sosok itu. Saat ia semakin mendekat, wajah itu menjadi sedikit jelas. Wajah yang ia kenal_Namun, ada sesuatu yang aneh. Wajah itu tampak sedikit berbeda, matanya lebih tajam, sorotnya terasa asing. Salim merasa ada aura yang ia kenali dari sosok tersebut tapi di orang yang berbeda.

"Ahsan?" Salim bertanya pelan, mencoba memastikan. Dari perawakan dan wajah samar itu salim menebak bahwa itu adalah Ahsan.

Sosok itu hanya tersenyum samar, senyum yang tidak biasa untuk Ahsan yang salim kenal. Ahsan biasanya pendiam dan tenang, tetapi sosok di hadapannya ini tampak lebih ceria, hingga salim ragu jika sosok itu adalah ahsan.

Salim mulai merasa canggung, perasaan aneh mulai menjalar dalam dirinya. Lorong yang tadi terasa terang, kini semakin gelap, seperti ada bayangan yang menyelimutinya. Sosok itu mendekat, langkahnya tenang dan terukur, namun membuat Salim semakin gugup. Ketika jarak mereka semakin dekat, Salim dapat merasakan kehadirannya begitu nyata, tapi ada sesuatu yang salah. Ini bukan Ahsan yang ia kenal. Sosok itu terlihat seperti Ahsan, tapi caranya berbicara, cara ia bergerak, semuanya terasa tidak biasa.

dalam mimpi nya, sosok itu banyak mengoceh kata-kata manis yang memabukkan pikiran. benar-benar tidak seperti ahsan.

"Kamu siapa?" Salim bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas, meski hatinya dipenuhi kebingungan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Santri Indigo [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang