Part 10

1 0 0
                                    

Bahagianya Ayyana di hari pertamanya masa orientasi siswa baru karena setiap pelajaran masih tentang perkenalan. Belum ada beban pelajaran yang menyulitkan. Apalagi kelas bahasa yang diikuti Ayyana, dia seperti turis yang menjelajah banyak kota di dunia. Meskipun, grammar bahasa inggrisnya masih suka salah, tetapi dia cukup percaya diri di kelas dan sudah memiliki teman-teman yang bisa dikatakan satu grup dengannya.

"Ayya, aku melihatmu waktu pertemuan penerimaan bersama orang tua siswa. Siapa anak laki-laki yang bersamamu?" ujar Marissa teman sekelasnya.

"Anak laki-laki? Yang mana?"

"Yang manggil kamu Ay di gerbang sekolah. Yang kulitnya putih, kurus, tidak terlalu tinggi. Dia...." Marissa mencoba mencari deskripsi yang pas.

"Natha?"

"Namanya Natha?" ucap Marissa.

"Natha Raksana, kelas X IPA 1," jelas Ayyana lengkap.

"Dia belum punya orang yang disuka, kan? Dia suka anak perempuan seperti apa?" tanya Marissa, berusaha memancing Ayyana untuk menceritakan tentang Natha.

"Aku nggak pernah lihat dia bermain sama anak perempuan sih waktu SD atau SMP. Saat SD dia cuma main sama Osean. SMP dia lebih penyendiri. Tidak pernah mengikuti kegiatan klub. Eh pernah menjadi ketua OSIS sih, tapi aku tidak terlalu memperhatikan dia dekat dengan siapa saja atau yang dia sukainya. Kami tidak pernah mengobrol tentang hal itu. Bisa dibilang aku dan Natha lebih banyak berantem daripada mengobrol," jelas Ayyana.

"Senang banget. Aku juga ingin punya saudara yang bisa diajak berantem," ucap Marissa yang sangat terlihat mengagumi Natha.

"Tapi Natha bukan saudara aku." Ayyana berkata sebenarnya.

Marissa langsung menarik lengan Ayyana.

"Bukan saudara, tapi ibu kalian sama. Kamu manggil ibunya Bunda, kan? Aku mendengarnya, aku ada di dekat kalian saat itu. Mungkinkah saudara tiri? Iya, kan? Pantas sih nggak akur. Kalian pasti saling merasa orang tuanya direbut. Padahal coba berpikir positif, Ay. Pada akhirnya karena orang tua kalian dipertemukan dan menikah, keluarga kalian menjadi lengkap dan komplit. Kamu jadi memiliki saudara laki-laki dan Natha pun jadi memiliki kamu sebagai saudara perempuannya."

"Mar, sepertinya kamu halunya ketinggian deh," ujar Ayyana.

"Satu lagi, Ay. Ibu tiri tidak selalu jahat seperti di dongeng cinderella. Dongeng itu hanya stereotipe penulisnya saja. Realitanya kita bisa membuat cerita hidup sesuai versi kita. Versi yang lebih happy tidak hanya di akhir, tetapi dari awal sudah happy. Remember, must be happy from beginning to the end of the story." Marissa menutup kelas singkatnya.

"Boleh tahu stereotipe itu apaan?" tanya Ayyana polos.

"Buka Google deh, Ay. Stereotipe itu penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi sekelompok orang," jelas Marissa bergaya seperti Ibu Guru di depan kelas.

"Oh, makasih penjelasannya, tapi aku sama Natha beneran bukan saudara," ulang Ayyana.

"Aku tahu memang sulit mengakui saudara tiri sebagai saudara kita. Aku paham, Ay. Aku mengerti, tapi Natha terlihat anak laki-laki yang baik. Jadi... cobalah menerimanya dengan lapang," jelas Marissa.

Ayyana sampai menggaruk rambutnya yang tidak gatal mendengar semua yang dikatakan Marissa.

"Kamu suka sama Natha?" tanya Ayyana tanpa basa basi.

"Aku? Tidak. Aku hanya sedikit tertarik. Sedikit saja. Dia terlihat smart."

"Aku lebih smart dari dia. Nilai-nilai di SMP-nya jauh di bawahku."

"Really?" Marissa tidak percaya.

Obrolan panjang dengan Marissa membawa mereka pada bel pulang. Satu jam terakhir hanya dihabiskan untuk saling mengobrol satu sama lain. Harusnya menggunakan bahasa asing, tetapi Marissa dan Ayyana malahan mengobrol sesuatu yang di luar topik.

"Kamu langsung pulang?" tanya Marissa, sambil membereskan alat-alat tulisnya yang terserak di meja.

"Aku nunggu seseorang dulu."

"Natha?"

Ayyana hanya tersenyum tipis.

"Rasanya aku ingin menemanimu, tapi biasanya jemputanku sudah menunggu di gerbang. Aku duluan aja deh, Bye, Ayya."

"Bye Marissa."

Beberapa menit Ayyana menunggu. Dia berdiri di depan kelasnya yang biasa dilewati anak kelas X. Akhirnya Ayyana melihat sosok Osean.

"Osean," panggil Ayyana.

"Ayyana, belum pulang?" tanya Osean.

"Natha mana?" tanya Ayyana, sambil celingukan mencari sosok Natha.

"Sudah duluan dia," jawab Osean.

"Duluan?! Terus Ayya pulang sama siapa dong?" tanya Ayyana retoris

"Kamu nggak naik kendaraan sendiri?"

"Sepeda rusak ada di bengkel," jawab Ayyana.

"Aku antar ya. Aku bawa motor," jawab Osean.

"Motor? Osean sudah 17 tahun?"

"Belum sih...," jawab Osean merasa menjadi tersangka.

"Okay. Aku tahu hanya Natha yang terlalu kaku dan taat peraturan. Dia tidak mau naik motor karena belum 17 tahun. Pasti dia hanya takut, kan. Dia pasti nggak bisa mengendarai sepeda motor," ujar Ayyana.

"Natha pernah naik motor saat SMP, tapi dia kena marah sama Ayahnya," jelas Osean.

"Hah?! Bagaimana Osean tahu padahal tidak ada di sini. Ayya yang di dekat Natha aja nggak pernah dengar Natha naik motor."

Osean tiba-tiba merasa salah ucap.

"Oh, mungkin bukan Natha. Aku mungkin salah dengar kabar. Aku hanya dapat cerita dari orang saja. Bukan Natha."

"Tidak mungkin kalau Natha," ujar Ayyana.

"Kamu tunggu di gerbang saja. Aku ambil motor dulu di parkiran."

Ayyana mengangguk.

Ayyana melihat ke arah parkiran sepeda yang tidak jauh dari pintu gerbang depan sekolah. Sepeda Natha masih terparkir di tempatnya. Ayyana pun tahu Natha belum pulang. Natha masih di sekolah.

***

WHERE ARE YOU?Where stories live. Discover now