"Aku tidak mengerti, kenapa kamu menghindari mereka?" Malik memiliki banyak stok pertanyaan. Dengan lirikan Malik yang penuh selidik bagai detektif di komik yang suka dibacanya.
"Ada dua bintang terang di sebuah orbit galaksi yang berdekatan. Bila ada satu bintang lagi meluncur ke arah mereka, apa yang terjadi? Sebut saja bintang yang salah orbit ini bintang C."
"Ada tiga bintang terang dong. Bintang A, B, dan C.," jawab Malik yakin dengan pengetahuan fisikanya yang melampaui rata-rata.
"Bila ada bintang C keluar dari orbitnya dan bertemu bintang A dan B. Maka, akan terjadi tabrakan hebat. Pada akhirnya semua bintang bisa saja hancur," jelas Natha.
"Bagaimana kalau yang sebenarnya dari awal salah orbit bukan bintang C, tapi bintang C yang perlahan meninggalkan orbitnya sendiri. Bukankah akan terjadi kekacauan juga. Dia bisa menghindari tabrakan dengan bintang A dan B. Namun, masih ada kemungkinan bintang D, E, F dan seterusnya di galaksi kita yaang akan beririsan orbit dengan bintang C." Komentar Malik kalau dipikirkan ada benarnya juga.
"Mendatangi orbit yang bukan garis edarnya ataupun menjauhi orbit yang seharusnya jalur miliknya sama saja menimbulkan petaka. Entah kekacauan apa yang akan terjadi nanti. Cepat atau lambat sejak satu bintang keluar dari orbitnya akan ada bencana di masa depan. Tidak bisakah kamu tetap di orbitmu sendiri?" Pertanyaan malik membuat Natha terdiam.
"Aku?"
"Maksudnya si Bintang C yang kita bicarakan tadi." Malik menghela napas. Padahal begitu jelas sedang membicarakan siapa, tetapi bila orangnya tidak mau mengaku, Malik pun memilih mengikuti arus.
"Mungkin akan lebih baik bila bintang C masuk ke dalam lubang hitam. Semua bintang akan menjadi aman," jawab Natha.
"Pemikiranmu terlalu pendek. Bunuh diri bukanlah tindakan ksatria. Masuk lubang hitam bukanlah sebuah penyelesaian itu juga bencana bagi bintang C sendiri. Memasuki limbo sendirian. Dia hanya menghancurkan dirinya sendiri." Malik terus-terusan memberikan argumen bahwa keputusan bintang C bukan yang terbaik, tetapi yang terburuk.
"Ngomong-ngomong kenapa kamu terus mengikutiku?" tanya Natha kepada Malik.
"Aku hanya berjalan keluar gerbang. Satu jalur, tidak ada gesekan, dan tidak ada masalah bukan? Tidak ada tabrakan juga. Apalagi kalau aku bisa nebeng sampai rumah."
"Rumah? Bukannya saat perkenalan kamu bilang rumahmu di daerah Selatan, Sepertinya kita tidak sejalan dan sepedaku tidak ada boncengannya."
"Kenapa seorang Ayyana bisa dan aku nggak bisa? Ayyana perampok topimu, Osean menyebut namanya berulang kali saat mengobrol denganmu," tanya Malik lagi.
"Kamu mau cari masalah sama aku?" tanya Natha.
"Tidak. Aku pulang sendiri. Sepedaku di sana," ujar Malik menuju sepedanya.
"Ternyata punya sepeda sendiri," ucap Natha retoris.
Malik melambaikan tangan dan mengayuh sepedanya lebih dulu, meninggalkan Natha di belakang. Mereka memang beda jalur. Dia sudah terlalu banyak membuat Natha kesal seharian ini. Namun, Malik termasuk teman yang unik. Dia terus terang dan bisa berbagi pikiran dengan terbuka. Meskipun, kadang tingkahnya sangat membingungkan semua orang termasuk bisa juga membuat Natha bingung dengan argumen dan opini-opini spontannya.
Natha mengambil jalur kiri saat bersepeda. Dia ingat sepeda Ayyana harusnya masih di bengkel kalau Ayyana belum mengambilnya. Natha pun mampir ke bengkel dan melihat sepeda Ayyana sudah diperbaiki.
"Saya mau ambil sepeda, Pak," ucap Natha.
"Eh, kemana Adik yang punya sepedanya?" tanya si tukang Bengkel.
"Sudah pulang duluan," jawab Natha.
***
YOU ARE READING
WHERE ARE YOU?
RomancePersahabatan Ayyana dengan kedua teman masa kecilnya Osean dan Natha hingga dewasa memiliki beragam rasa. Momen pertemuan dan perpisahan sangat dekat dengan mereka. Ketika ada yang kembali, di saat yang sama ada yang harus pergi. Namun, siapakah yan...