Part 11

1 0 0
                                    

Ketika sudah berusia lima belas tahun remaja seusia Natha dan teman sebayanya akan semakin banyak yang dipikirkan. Tantangan juga berderet menunggu antrian. Meski semua diawali dengan bersenang-senang dan tertawa dengan teman baru. Pada akhirnya beberapa hari ke depan kenyataan akan menghampiri para remaja ini. Kegelapan masa SMA di tengah rimba matematika.

Tidak hanya itu, ada juga yang terjebak dalam memahami makna cinta. Apa itu ada di pelajaran bahasa indonesia? Bukan. Meskipun puisi dan novel romance sering kali dibahas saat jam pelajarannya. Namun, pelajaran yang sebenarnya adalah bagaimana menghadapi diri sendiri ketika mulai menyadari cinta datang terlalu cepat.

Malik mengawasi Natha yang berdiri di balik tembok kelas. Dia menghentikan langkahnya yang harusnya pergi ke parkiran sepeda.

"Buku paketmu sudah kamu ambil, kan? Kamu tidak langsung pulang? Si perampok topimu pasti lagi nungguin kamu tuh. Lihat dia berdiri di dekat gerbang. Kalian berangkat bareng kan tadi pagi. Bukannya harusnya pulang bareng juga?" tanya Malik.

"Sudah ada yang ngantarin dia kok sekarang," jawab Natha.

"Sudah ada. Ah, teman sekelas kita yang tinggi dan rupawan plus baik hati itu. Dia ternyata siswa baru dengan nilai ujian paling bagus di sekolah kita. Apa kelas kita kelas unggulan? Bisa-bisanya anak dengan nilai itu masuk kelas kita. Aku tiba-tiba merasa insecure saat mendengar nilainya paling tinggi di sekolah. Dia bukan dari SMP daerah sini, kan? Kenapa kalian bisa sahabatan?" Pertanyaan Malik tidak ada satupun yang dibalas Natha.

"Kamu insecure juga, Nath?" tanya Malik lagi.

"Aku sudah biasa dikelilingi orang pintar. Tinggal menjadi orang tidak biasa saja di antara orang-orang pintar itu," balas Natha seperti tahu apa yang harus dilakukannya.

"Caranya?"

"Caranya.... Kamu harus tahu apa yang kamu inginkan di hidupmu. Cita-cita, impian, tujuan hidup. Hal itu yang membedakan sesama orang pintar. Kamu pintar saja tidak cukup, tapi tahu apa yang harus kamu kejar dan apa yang harus kamu relakan itu baru luar biasa," jelas Natha.

"Heei, apa kamu reinkarnasi seorang guru dari zaman majapahit. Ucapanmu terdengar tua sekali di telingaku."

"Sepertinya aku hanya bisa melihat masa depan. Kembali ke masa lalu itu sulit, tapi menciptakan masa depan itu ada kemungkinan terjadi. Jadi, untuk apa susah payah megubah masa lalu. Kalau kita memiliki masa kini yang bisa mengubah masa depan kita menjadi lebih baik lagi."

"Sang penerawang," ujar Malik.

Natha tersenyum.

"Memprediksi masa depan dengan logika itu lebih berterima."

"Eh, teman kecilmu sudah pergi tuh," tunjuk Malik.

Natha megintip sedikit sebelum keluar dari persembunyiannya. 

***

WHERE ARE YOU?Where stories live. Discover now