Bab 15. Pertemuan Spesial

83 12 3
                                    

Mengikuti seruan instingnya, tubuh tak bermassa Hendrick melayang rendah di antara kerumunan para remaja, membuntuti sosok gadis hantu yang dinilai Hendrick memiliki kemiripan dengan kekasihnya, Katherine Wildblood.

“Katherine.”

Seruan lirih Hendrick membuat bulu kuduk Katherine meremang. Ia sejak tadi memang sudah curiga kalau dirinya tengah diikuti oleh sosok hantu lain di taman kota ini.

“Hey Nona yang di depan sana. Tolong berhenti sebentar!”

Aduh, bicara apa hantu. Kenapa nada bicaranya terdengar seperti orang yang sedang marah?

Katherine tak berani menolehkan kepalanya ke belakang, takut jika hantu di belakangnya adalah sosok yang sama dengan sosok berbulu lebat di Hotel Verwood.

“Nona, Nona yang memakai gaun. Tolong berhenti sebentar!”

Astaga Tuhan, kenapa suara hantu itu malah semakin nyaring? Dia pasti sungguhan marah melihat Katherine masih bisa berkeliaran bebas seusai meninggalkan teman manusianya yang diserang habis-habisan oleh makhluk berbulu lebat.

“Nona, Nona Katherine Wildblood!”

Katherine tercengang saat sosok hantu itu berseru nyaring memanggil namanya.

Tanpa pikir panjang lagi, Katherine langsung mengerahkan kekuatan selintas kecepatan cahaya, menghilang dalam sekejap mata dari pandangan sosok hantu di belakangnya.

“Hey Nona. Jangan lari!”

Katherine tak menghiraukan seruan sosok hantu itu. Tubuh transparannya menebus tubuh-tubuh manusia yang di lewatinya.

Ia menerobos tubuh seorang remaja berbadan tambun. Lanjut menembus tubuh seorang penjual Cireng. Ia juga menerobos gerobak abang Tukang Bakso. Beruntung tubuh transparannya tidak merasakan hawa panas saat gaun kusam itu melintasi gerobak berisi kuah bakso yang mengepulkan uap panas.

“Nona, tunggu sebentar. Jangan lariii!!!”

Katherine semakin ketakutan dikejar oleh sosok hantu tak dikenal di belakangnya. Tubuhnya sudah melesat sangat jauh mengitari seisi kota Surabaya.

Sedetik, Katherine sudah berada di Klenteng Sanggar Agung, menerobos lilin-lilin besar berwarna merah demi menghindari kejaran si sosok hantu.

“Hey, Nona. Tolong dengarkan aku dulu!!!”

Sedetik kemudian, sosok bergaun kusam itu sudah berpindah tempat di tengah-tengah Hutan Bambu Keputih.

Katherine menutup erat kedua daun telinganya mendengar suara cekikikan para hantu berambut urakan di balik rimbunnya tanaman bambu.

Hantu-hantu itu melambaikan tangan ke arah Katherine. Mengajaknya untuk mampir sejenak ke kediaman mereka, sekedar bertegur sapa sebagai sesama jiwa-jiwa yang tersesat. Namun Katherine tak ada waktu mengakrabkan diri dengan para hantu yang tak pandai mengurus penampilan mereka itu.

“Nona, jangan kabur. Saya bukan orang jahat!”

Meninggalkan para Kuntilanak di balik rimbunnya tanaman bambu, tubuh Katherine kini sudah berada di sebuah tempat bersejarah yang memberikan hawa ketenangan bagi dirinya.

Mata kebiruan Katherine menatap takjub Kaca Patri di langit-langit Gereja Santa Perawan Maria.

Ia dibuat terperangah melihat lukisan indah yang dipajang tinggi tidak jauh dari keberadaan Kaca Patri berwarna-warni.

“Nona!”

Sempat kehilangan fokus sesaat, Katherine kembali melesat jauh  ke sebuah tempat luas ber ornamen serba putih-putih menyerupai bangunan kerajaan Era Kolonial.

Que sera, seraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang