Bab 17. Kota Keabadian

96 11 2
                                    

Masihlah menjadi sebuah misteri mengapa hingga saat ini sosok hantu Hendrick masih saja menetap di tanah rantaunya Hindia Belanda, disaat hantu-hantu lain satu persatu mulai menemukan jalan pulang menuju pemberhentian selanjutnya, ke alam baka.

Hantu tampan itu terdiam bisu di depan reruntuhan Kerkhoff yang menjadi tempat peristirahatan terakhirnya setelah ditemukan tewas bunuh diri dalam sebuah peristiwa tragis di atas Jembatan Merah.

Hendrick mengulas senyum tipis disaat matanya membaca sebuah pesan menyentuh dari sahabat lamanya semasa menjalankan tugas di tanah Hindia Belanda dulu.

Selamat beristirahat kawan. Tenang dan berbahagialah selalu dalam keabadian. Semoga di kehidupan selanjutnya, kita bisa bermain bersama lagi seperti ketika berada di alam dunia.

Sahabatmu, Joe.

“Lama tidak bertemu, Joe. Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah sekarang, kau sudah bebas bermain bola tanpa dimarahi oleh Ibumu, huh?”

Rumput di atas reruntuhan Kerkhoff semakin meninggi karena sang pengurus makam telah lama berpulang sejak puluhan tahun silam.

Atap Cungkup penghias makam sudah mulai aus dan pecah termakan rambatan lumut yang tumbuh subur menggerogoti dinding semen.

Pahatan nama panjang Hendrick beserta gelar kebesarannya raib dari pajangan karena ulah para tangan-tangan jahil.

Hendrick mengela napas. Tubuh kakunya nampak mematung memandangi sisa-sisa reruntuhan dari Aarden Graven miliknya.

Kalau bukan karena Risa, tubuh kaku itu tak akan mungkin mau menjejakkan diri kembali di tanah terlarang ini.

Juga, kalau bukan karena mengejar sosok hantu yang dinilainya memiliki kemiripan dengan wajah sang kekasih, Katherine. Hendrick tidak akan mungkin mau mengunjungi tempat peristirahatannya sendiri di komplek pemakaman ini.

“Kemana perginya sosok yang mirip dengan Katherine tadi, heh?” Hendrick mengedarkan pandangannya ke sepenjuru bangunan makam, mencari keberadaan sosok hantu yang diikutinya sejak tadi.

“Cepat sekali dia lari. Sosok itu pasti masih berada di sekitar makam-makam ini?” Hendrick mulai melayangkan tubuh tak bermassanya menembus bangunan makam-makam tua.

Sosok-sosok berbagai rupa menatap sinis ke arah Hendrick disaat hantu itu melintas di sekitar rumah mereka.

Ada yang wujudnya perpaduan antara sosok manusia dengan hewan melata, ular.

Ada pula yang nampak rapi mengenakan jubah kerajaan tengah meloncat-loncat mengitari Bong Pay sembari memperlihatkan taring panjangnya.

Ada lagi yang tengah duduk nyaman di atas pohon rindang seraya melambaikan tangan ke arah Hendrick, meminta sosok tampan itu untuk mampir sebentar ke kediaman mereka.

“Merah, putih, hitam, biru. Mereka seperti warna pelangi saja.” Hendrick bergumam sendiri sembari memperhatikan kenampakan geng Kuntilanak di atas pohon Beringin tua.

“Hihihi, kemarilah tampan.” Kuntilanak merah menyeru genit memanggil-manggil sosok Hendrick.

Hantu Hendrick menggelengkan kepala.

“Ayolah Tuan Menner mampir sebentar ke kediaman kami, hihihi.” Si Kuntilanak biru tak mau kalah merayu Tuan Menner.

Hendrick hanya membalas rayuan genit si Kuntilanak dengan senyuman tipis.

“Uuuuhhh, sombong sekali sih si tampan ini, apakah harus kita-kita disini yang menghampiri Tuan Menner? hihihi.” Kuntilanak hitam, yang tampilannya paling seram diantara anggota gengnya, terlihat paling ambisius ingin berkenalan dengan sosok Tuan Menner.

Que sera, seraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang