CHAPTER 2: SILUET INDAH BAK FATAMORGANA

28 11 21
                                    

"Rora cek IPAL dulu sebentar ya, Kak."

"Oh, ya, ini sekalian tolong antarkan buku ini ke ruang apoteker ya, Rora. Terima kasih adik manis."

"Oke siap, Kak."

Mobil pun terparkir di area puskesmas. Di dalam hati, Leo kembali meyakinkan dirinya, untuk mulai membuka hati dan mencoba menjalin hubungan untuk dia bawa ke jenjang yang lebih serius. Saran dari Kepala Desa tadi sangat cocok untuk dipertimbangkan, ditambah lagi dengan antusias Papa seakan mendukung jika dokter itu menjadi menantu orang tuanya. Tidak lah gampang menjodohkan anak bujang yang sudah matang dan mapan, dan orang tua Leo hanya ingin anaknya menikah dengan pilihan anaknya sendiri. mereka hanya bisa sebatas menasihati atau sebatas mengingatkan saja, dan sudah waktunya Leo menyadari bahwa memang seharusnya Leo mulai bergerak selangkah dua langkah lebih dulu, meski diam-diam.

Dengan sedikit ragu, Leo turun dari mobilnya, lalu berjalan mendekat ke pintu masuk puskesmas yang sekarang ada di hadapannya. Dia tampak kebingungan, karena tidak mengerti bagaimana cara berobat ke puskesmas. Hidup Leo terlalu kaya sehingga bisa memiliki dokter dan perawat pribadi di Keluarga Arkana. Leo sedikit ragu dengan puskesmas yang saat ini dia kunjungi, suasana yang sepi seperti tak lagi beroperasi.

"Apakah ini beneran puskesmas?"

"Permisi."

"Ya, silakan, pasien ya? Kok orang rekam medis tidak datang bawakan datanya sih? Kebiasaanlah. Silakan duduk ya, Pak. Saya ke loket sebentar."

Leo memerhatikan sekitar, ada jas dokter tergantung di kursi. Leo menunggu sambil mencari tulisan yang mungkin bisa menjadi petunjuk nama dokter yang sedang dia cari tahu, namun dia tidak menemukan apa-apa dari jangkauan mata sehatnya.

"Permisi, Pak."

Leo yang mendengar sapaan itu, spontan membalikkan badan dan menatap wajah seseorang yang tentu saja sedang menyapanya. Tanpa sadar Leo berdiri dan mengulurkan tangannya. Rora sempat kebingungan dan dengan sopan berjalan melewatinya, dan duduk di kursi dokter, tempat di mana dia tadi duduk dan meletakkan buku catatannya.

Leo sedikit tersenyum menyadari tindakannya yang di luar kesadarannya. Lalu menurunkan tangannya dan kembali duduk di kursi pasien. Rora melihat Kak Yaya tidak ada di mejanya dan di meja pemeriksaan pun tidak ada dokumen pasiennya.

"Sakit apa, Pak?"

Leo yang masih terpana, hanya memandangnya dengan tenang sambil mencari kesempatan membaca nametag yang menempel di saku seragam kerjanya. Sedikit tertutup jilbab, namun Leo masih bisa membacanya beberapa kata yang terlihat, "Glory."

"Pak?"

Suara lembutnya menembus sampai ke hatinya, memecah segala ketidakfokusannya.

"Ya, Bu Glory," Leo tersenyum, tampan sekali.

Rora yang tertegun, lalu hendak ingin merespon, namun Kak Yaya tiba-tiba datang.

"Maaf ya, Pak, lama."

Tiba-tiba telepon Leo berbunyi. Leo memeriksa layar handphonenya, dan terlihat buru-buru.

"Maaf, Bu, besok saya akan kembali, saya harus segera pergi."

Rora dan Kak Yaya terheran dengan kepergian Leo.

"Itu orang beneran sakit nggak sih?" Kak Yaya masih terheran-heran.

Rora hanya tersenyum menahan tawanya.

***

"Darimana saja?"

"Cari angin aja, Pa. Ini rumahnya, Pa?"

"Iya, kita akan tinggal di sini selama 1 bulan."

"Apa?!"

MORNING GLORY [END] Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang