Langit sore menemani kesendirian Leo yang terus melajukan mobilnya entah sudah sampai di mana. Tadi siang dia pamit pergi ke luar alasan memeriksa pekerjaan di lokasi proyek. Namun mobilnya tidak pernah berhenti di sana, dia hanya beralasan, karena tak ingin Pak Arkana melihat Leo murung. Leo tipikal orang yang tak bisa menyembunyikan isi hatinya dari orang tuanya. Kini dia berhenti di dekat sungai yang tampak tenang dan jernih.
Leo memarkirkan mobilnya tak jauh dari sana. Dia pun turun dari mobilnya dan berjalan mendekati sungai. Langkahnya terus berlanjut tanpa henti.
"Hei, anak muda!" teriak seseorang dari seberang sana.
Leo terkejut dan melihat ke arah orang yang tampaknya sedang memanggilnya.
"Iya, Pak. Ada apa, Pak?" balas Leo sedikit berteriak. Namun Bapak itu hanya tersenyum lalu melambaikan tangannya.
Leo terheran dengan sikap bapak itu, tetapi tetap membalas senyum dan ikut melambaikan tangannya. Sambil bergantian melihat bapak itu berlalu dan sungai yang mengalir tenang di hadapannya, Leo pun baru paham maksud dari teriakan tadi.
"Astaga, Pak, Aku nggak ada niatan terjun, loh. Apa Bapak itu awalnya menyangka aku mau bunuh diri? Ya ampun!" ucap Leo sambil tertawa.
Leo terus berjalan di hamparan rumput yang tidak terlalu tinggi di sepanjang sungai, dan melihat bunga mungil berwarna ungu.
"Kenapa Kalian, layu? Padahal jika mekar, pasti Kalian terlihat cantik sekali."
Leo kembali teringat akan kondisi hatinya yang sedang layu seperti bunga itu.
"Sepertinya, kalian mengerti isi hatiku. Iya, benar, aku sedang patah hati. Hatiku layu seperti kalian, tapi tidak dengan cintaku. Aku masih menyukainya, karena itu lah aku seperti ini. Aku salah menjatuhkan rasa pada seseorang yang terlarang untuk dicinta selain orang yang berhak memilikinya."
"Hei, bunga. Lucu 'bukan? Aku jatuh cinta pada perempuan yang sudah bersuami, dan lebih tua dariku, 2 tahun," ucap Leo seakan sedang berbincang dengan bunga-bunga yang layu itu.
Leo menatap langit senja yang tampak sendu, sesendu hatinya. Leo tersenyum lirih lalu berjalan meninggalkan bunga-bunga dan sungai yang tenang itu.
"Aku masih menyukainya. Entah kenapa, meskipun dia tak bisa kumiliki, rasa cintaku terasa semakin jelas untuknya. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku jatuh cinta, dan untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasa kecewa."
***
Rora duduk di depan kontrakannya. Menikmati teh hangat dan rebusan ubi yang tadi dimasaknya. Sesekali melihat ke jalanan yang tak begitu banyak orang yang lewat. Hanya beberapa kendaraan saja.
Tanpa sengaja Rora menggigit tangannya yang dia sangka adalah ubi.
"Aduh," spontan Rora melihat ke arah tangannya yang telah kosong. Ternyata Rora menyangka ubi yang tadi dia makan, masih ada di tangannya.
"Kenapa aku seperti ini?"
Rora pun meraih ponselnya, lalu menekan tombol telepon.
"Assalamualaikum, Ma, apa kabar, Ma?"
"Waalaikumsalam, Anak Mama, kabar Mama dan Papa, sehat,"
"Syukurlah, Ma. Papa mana, Ma?"
"Sudah tidur, kecapean habis mincing sama teman-temannya."
"Titip salam buat Papa ya, Ma."
"Nak, ada apa? Lagi ada masalah?" tanya Mamanya dengan nada lembut.
"Nggak ada apa-apa, Ma. Semua baik-baik saja. Jaga kesehatan ya, Ma. Ingatin Papa, jangan kecapean. Gimana kabar Kak Yoza, Ma? Udah dapat kerja? Aku coba telepon dan kirimpesan tapi sampai sekarang nggak direspon," ucap Rora.
"Nggak usah terlalu dipikirkan, Kakakmu lagi di luar bersama temannya."
"Teman, apa temen, Ma?"
"Hus! Jangan bicara begitu tentang Kakakmu, dia lagi pusing dengan kuliahnya. Nanti Mama sampaikan ke dia kalau Kamu menghubunginya, sama Papamu juga nanti Mama sampaikan salammu ya, Nak," jelas Mamanya.
"Assalamualaikum, Ma,"
"Waalaikumsalam, Sayang," jawab Mamanya Rora.
Rora menghela napas panjang. Mama dan Papanya terlalu memanjakan Kakak perempuannya dibanding dia si anak bungsu.
"Setidaknya hatiku mulai sedikit tenang setelah mendengar suara mama."
***
Leo memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam rumah dengan lesu. Papa Leo melihat anaknya terlihat seperti pengangguran yang baru pulang setelah keliling mengantar lamaran yang tak kunjung ada panggilan.
Leo terus masuk ke dalam kamar, menyisakan papanya yang prihatin dengan kondisi anaknya.
"Sebegitunya dia kecewa. Siapa perempuan itu?" Pak Arkana pun meraih ponsel pintarnya.
Leo telah selesai membersihkan dirinya. Lalu memakai baju kaos putih dan celana sependek lutut. Dia pun berjalan ke luar kamar hendak melanjutkan kerjaannya yang sempat tertunda.
"Sudah, kerjaanmu di kantor sudah diselesaikan sekretarismu," ucap Pak Arkana.
"Oh, begitu, aku belum memeriksa handphoneku, jadi aku baru tahu, Pa," jawab Leo.
"Siapa perempuan itu, Leo? Siapa namanya? Apakah Kamu melamarnya? Kapan kenalnya? Di mana?"
Leo menatap Papanya dengan heran, "Papa reporter? Pertanyaannya banyak sekali, Pak Arkana," ucap Leo seakan meledek papanya.
"Jangan mengalihkan suasana, suara hatimu pasti sedang meronta ingin bercerita sama Papamu ini."
Leo hanya diam sambil menikmati potongan apel yang terhidang di meja.
"Tanganmu sudah nggak gatal lagi? Itu tanganmu memerah lagi, kamu garuk-garuk terus?"
"Nggak apa, cuma gatal doang, nanti aku kasih salap dari puskesmas."
Leo kembali teringat momen saat Leo berada di ruang konsul bersama Rora. Tanpa sadar Leo menghela napas panjang.
"Itu kenapa dengan kakimu? Kakimu kena juga?" tanya Pak Arkana mulai khawatir.
"Nggak apa, cuma kaki doang, nanti aku kasih salap dari puskesmas."
"Hei Leo Arkana Distian, anak bujang Papa, Kamu robot? Kenapa jawabanmu template semua?"
"Iya, Bapak Arkana Muhammad_suaminya Ibu Distiana Fitra," jawab Leo sambil tersenyum meledek.
Pak Arkana pun tersenyum melihat anaknya mulai tersenyum, tetapi dia masih bisa melihat kesedihan di mata anaknya itu.
"Leo masuk dulu ya, Pa, ngantuk."
"Iya, jangan lupa pakai salapmu, atau Kamu ke dokter saja besok?"
Leo hanya mengangkat tangannya dan menutup pintunya.
"Untuk apa aku ke sana? Aku tak tahu harus bagaimana jika bertemu dengannya. Aku tak yakin apakah aku mampu menatap mata indahnya. Pasti akan canggung sekali bagiku, dan tidak bagi dirinya. Meski aku merindukannya, tapi aku tahu, tak boleh lagi merindukannya. Meski aku menginginkannya, tapi aku tak bisa memanggilnya. Perasaanku baru saja tumbuh dan mekar, tetapi dipaksa layu oleh kenyataan."
KAMU SEDANG MEMBACA
MORNING GLORY [END] Proses Revisi
Casuale[Diikutkan dalam Menulis 25 Hari Tema Cinta Sejati oleh Fairy Book] Berawal saat Rora membantu Dokter Ryas di poli umum. Rora dengan senang hati membantu menggantikan perawat yang kebetulan sedang izin ke toilet. Hubungan Rora dan Dokter Ryas tidakl...