CHAPTER 10: TERPAKU PADAMU

9 4 0
                                    

"Pagi, Rora!" sapa Kak Yaya dengan penuh semangat. Rora yang sedang termenung di dalam ruangan kerjanya tidak mendengar sapaan Kak Yaya.

"Nih anak kenapa?" Kak Yaya pun masuk ke dalam ruangan yang semula hanya berniat menyapa saja.

"Mengapa cuaca tampak mendung ya? Apa ..." Rora yang bicara sendiri sambil memandang pemandangan luar dari balik jendela ruangannya, pun menghentikan kalimatnya karena menyadari ada seseorang di samping.

Rora terperanjat kaget melihat Kak Yaya menatapnya sambil membelalakan matanya.

"Astaga, Kak!"

Kak Yaya pun tertawa terbahak-bahak melihat wajah Rora yang terkejut setengah ketakutan.

"Ya ampun, Rora, wajahmu lucu sekali," ucap Kak Yaya gemas.

"Aduh, Kak, sejak kapan Kakak berdiri di situ?" Rora mengelus dadanya sambil sedikit merengek.

"Sejak Kamu bicara sendiri, Sayang..." Kak Yaya menoal dagu Rora yang berlubang.

"Kakak ini, ada apa, Kak?" tanya Rora sambil merapikan mejanya.

"Nggak ada, cuma lewat aja, trus lihat Kamu nggak balas sapaan Kakak, ya udah, masuk dah," jelas Kak Yaya.

"Kamu kenapa sih, Rora? Sejak Sabu kemarin loh," selidik Kak Yaya.

"Nggak kenapa-napa kok, Kak. Aku nggak mikirin siapa-siapa."

"Nah, kena, kan! Kapan Kakak bilang 'mikirin siapa' hayoo... jangan bohong sama Kakak, siapa orangnya?"

"Siapa apa, Kak?" tanya Rora pura-pura tak mengerti.

"Siapa orang yang udah bikin Kamu melamun sejak Sabtu sampai sekarang Kamu bicara sendiri kayak orang aneh?"

"Kakak ih," Rora gelagapan dan hanya bisa tersenyum.

"Eh, Yaya! Itu ada pasien, ngobrol aja di jam kerja!" tegur Kak Mike.

"Ih apaan sih, sirik deh," jawab Kakak Yaya bercanda.

"Ya udah, Kakak ke poli dulu, nanti Kakak tagih lagi jawabanmu ya Dek ya..."

Rora tersenyum canggung.

"Aduh, kenapa aku selalu terpaku memikirkan hal yang seharusnya tidak menggangguku seperti biasanya?"

Rora kembali dikagetkan dengan kedatangan Kak Yaya. Napas Rora tertahan untuk menahan agar ekspresi terkejutnya tidak terbaca oleh Kak Yaya. Kak Yaya menahan senyumnya, lalu meletakan kertas rujukan internalnya di meja Rora.

Rora pun membaca data pasien yang tertera di kertas rujukan itu, "Leo Arkana Distian?"

Kening Rora mengernyit, dia merasa familiar dengan nama itu.

"Ada pasien yang khusus ingin konsultasi denganmu, Rora," ucap Kak Yaya sambil senyum-senyum.

"Silakan masuk, Pak Leo," ucap Kak Yaya dengan santai.

"Terima kasih, Kak," jawab Leo sopan.

"Aw, nggak dipanggil 'Ibu' lagi nih, Leo?" Kak Yaya menahan senyumnya sambil melirik Rora yang diam-diam menahan napasnya karena terkejut mendengar suara Leo dari depan pintu.

"Ayo, Dik Leo, masuk saja," Kak Yaya terus senyum-senyum.

"Astaga! Suara itu, aku mengenal suara itu. Iya, benar, Leo Arkana Distian!"

Leo masuk ke dalam ruangan sambil menatap wajah Rora dengan semangat.

"Morning, Glory," suara Leo yang berat, seakan menembus jantung Rora yang sedang terpompa hebat karena menahan debaran tak terdeteksi di hatinya.

Rora berusaha tersenyum dan bersikap tenang.

"Iya, Pak Leo, silakan duduk," Rora berpura-pura membaca catatan kunjungan konsultasi dan sesekali melirik Leo.

Leo terus menatap Rora dalam diamnya. Rora mulai tidak nyaman dan terus berpura-pura sibuk.

"Jadi, gimana Pak Leo, gatal-gatal di tangannya berpindah ke kakinya, Pak Leo?" tanya Rora sedikit gugup.

"Rasa gatalnya berpindah ke hatiku," ucap Leo asal. Wajahnya berubah serius.

Rora tersenyum kaku dan pura-pura terlihat biasa, dan memaksa tertawa seakan Leo tengah bercanda.

"Ada-ada saja, Pak Leo ini,"

"Jangan panggil, Pak. Panggil sesuai umurmu, Rora," ucap Leo sambil memiringkan kepalanya dengan mata terus menatap Rora dengan lekat.

Seketika jantung Rora seakan berhenti berdetak deti itu juga. Darahnya mengalir deras ke ujung kepalanya, membuat tubuhnya kaku seketika. Napasnya tertahan dan lidahnya kelu.

"Apa yang sedang dia katakana? Apakah aku ketahuan berbohong? Apakah dia marah padaku?"

MORNING GLORY [END] Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang