CHAPTER 7: UCAPAN & PIKIRAN YANG BERLAWANAN

20 4 3
                                    

Hujan begitu deras memukul genteng seng rumah membuat tidur Leo tidak nyenyak, nyamuk yang kadang beradu vocal di telinganya, memaksa Leo untuk bangun dari tidurnya.

"Berisik sekali," ucap Leo sambil menggosok-gosok rambutnya.

Leo melihat jam dinding, jarumnya menunjukan pukul 06.00 WIB. Memang sudah seharusnya bangun dan merapikan diri. Dia pun menyempatkan membuka jendela kamarnya, dan angin dingin di pagi hari pun menyeruak masuk dan tempias hujan mulai menampar wajahnya yang kusut karena terpaksa bangun dari tidurrnya yang tak lelap.

Leo tidak peduli sama sekali, dia biarkan dirinya basah perlahan, angin yang dingin tak mengganggu Leo saat ini, karena dia kembali mengingat perempuannya, "Glory," tanpa sadar Leo melafaskan nama gadis yang menjadi tujuannya sejak pertemuan pertama di puskesmas kala itu.

Leo tersenyum menyadari dirinya yang begitu terpesona dengan gadis yang bahkan belum begitu dia kenal identitasnya.

"Morning, Glory. Sedang apa Kamu sekarang?"

Leo merasakan rindu yang menggebu. Suasana pagi ini sangat mendukung perasaan Leo untuk terus hanyut di dalam lamunan memikirkan masa depannya bersama perempuan yang selama ini dia kenal bernama Glory.

"Aku ingin bertemu denganmu saat ini," Leo menutup kembali jendela kamarnya dan beranjak ke kamar mandi.

***

Leo mengendarai mobilnya, berniat mencari sarapan dan ke puskesmas untuk pura-pura berobat. Leo ingin mencari cara agar bisa bertemu dan berbincang dengan Rora secepatnya. Dia takut, langkahnya terlambat, karena tentunya dengan wajah ayu sepert itu, sudah banyak yang juga ingin memiliki pujaannya itu.

Leo pun berhenti dan memesan sarapan lontong sayur di warung yang tak jauh dari puskesmas. Saat itu pula, dari kejauhan Leo melihat ada sesosok yang sepertinya sangat familiar di matanya, dan bisa ditebak, itu adalah Rora.

Suapan Leo terhenti saat Rora semakin dekat dan terlihat jelas wajahnya di mata Leo.

"Dia tersenyum," Leo kembali terpukau oleh senyuman Rora yang terlihat malu-malu sendiri sambil mengendarai motornya.

"Manisnya..."

"Apa yang manis, Dek? Itu lontong, bukan kolak manis," Ibu-ibu penjual lontong ternyata mendengar suara Leo yang tanpa sadar keluar dari pikirannya.

Leo pun tersenyum karena malu, lalu bergegas membayar sarapannya, dan menyusul Rora. Leo memarkirkan mobilnya beberapa saat setelah Rora turun dari motornya. Dia pun mendekat hendak menyapa. Namun tiba-tiba kucing datang berlari mendekati mereka dan dengan sigap Leo menangkap Rora agar tidak terjatuh.

Betapa tak karuannya perasaan Leo saat ini, bukan karena cemas terjadi apa-apa pada Rora, sebab dia sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya, tetapi karena wanita yang dia suka sedang berada di dalam dekapannya.

Waktu terasa terhenti. Semua alam semesta seakan sedang memerhatikan mereka berdua yang berada pada posisi yang begitu dekat.

"Betapa indahnya wajamu, bahkan disaat takut pun wajahmu terlihat lucu," Leo tersenyum dan bahagia tidak terkira.

"Morning, Glory," sapaan Leo menjadi akhir dari dekapan hangat kala hujan di pagi ini.

Leo memerhatikan wajah Rora yang sedikit memerah entah karena shock atau karena sesuatu yang lain. Rora mengucapkan terima kasih dan menanyakan apakah hendak berobat.

"Rencananya begitu, tapi sekarang tidak lagi," Leo tersenyum memerhatikan wajah Rora yang tampak jelas kebingungan. Betapa lucunya Rora saat ini.

"Sepertinya kita belum berkenalan dengan cara yang baik, kalau begitu izinkan aku memperkenalkan diri. Aku, Leo Arkana Distian. Umur 30 tahun, dan sedang mencari jodoh," Leo tersenyum penuh semangat sambil mengulurkan tangannya. Di hatinya penuh harap ingin mendengar respon dari orang yang saat ini berdiri di hadapannya.

"Aku, Rora Glorya, 32 tahun, dan sudah menikah," senyuman Rora mengambang ceria.

Seketika langit seakan runtuh menghimpit pikirannya, dan bumi sakan hancur meremukan jantungnya. Senyum Leo memudar, dan kekuatannya melemah sehingga jabatan tangannya pun mulai melemah.

"Senang berkenalan denganmu, hmm apakah sekarang tetap aku panggil 'Pak' atau nama saja, Leo?" Rora berpura-pura tenang dan itu menambah kecewa di hati Leo.

Leo masih mematung di hadapan Rora, kali ini dia yang harus minum karena shock. Karena tak ada jawaban, Rora memanfaatkannya untuk pamit masuk ke dalam.

"Kalau begitu, permisi ya, Leo," pamit Rora dengan senyuman yang dipaksakan karena merasa tak enak hati.

Leo masih termenung di dalam mobilnya. Tidak ada tenaga untuknya mengemudikan mobil yang masih berada di parkiran puskesmas.

"Apa yang tadi kudengar, tidak benar kan? Ada yang salah dengan pendengaranku, kah? Atau dia sedang bercanda? Jika pun benar, kenapa begitu tiba-tiba? Apakah karena aku terlalu memaksanya untuk berkata jujur? Atau aku yang terlalu percaya diri sehingga tak sadar menyukai istri orang? Atau memang belum waktunya aku untuk mencari pendamping? Sudah benar aku fokus kerja saja, tapi sekarang aku harus bagaimana?" Leo membaringkan tubuhnya sambil menutup matanya ke dalam ceruk sikunya.

***

Siang pun mulai menampakan terangnya, kejadian lalu masih teringat jelas di pikirannya. Rora termenung di dalam ruang klinik sanitasi. Suasana yang tak begitu ramai pasca hujan deras di pagi tadi, dan tidak ada pasien yang dirujuk untuk berkonsultasi, membuat Rora semakin banyak merenung dan memikirkan apa yang telah dia katakan pada Leo.

"Tak apa, lagian dia juga akan kembali ke kota. Dia bukan orang asli di sini, dan nggak akan ketemu lagi. Lebih baik dari awal membuatnya menjauh daripada dia salah paham denganku," ucap Rora menenangkan hatinya yang tidak tenang.

"Tak ada yang perlu dipikirkan dari ucapanku. Tak merugikan siapa-siapa juga, kan? Ya sudah, jangan khawatir, Rora," Rora memandang langit-langit ruangan dengan tangannya yang sedari tadi mengepal dengan jempol dilipat masuk ke dalam kepalannya.

"Hei, kenapa bicara sendiri?" tanya Kak Yaya yang tiba-tiba sudah duduk di kursi pasien.

"Eh, Kak Yaya, nggak kenapa-kenapa kok, Kak. Emangnya Rora kenapa, Kak?"

"Nah, Loh, idiih, nih anak beneran kenapa-napa nih," ucap Kak Yaya sambil terheran-heran.

Rora hanya tertawa tak mengerti dengan apa yang sedang dia katakan.

"Kamu kelamaan menjomblo sih, sana pacaran! Atau mau Kakak cariin? Kebetulan Kakak punya ponakan,"

"Astaga, Kak, itu kemudaan, Kak," ucap Rora sambil tertawa.

"Zaman sekarang, pacarana sama brondong udah biasa, lagian anak-anak muda masa kini malah kelihatan lebih tua dari umurnya, dan lebih banyak pahamnya malah dari Kakak yang sudah kepala tiga," terang Kak Yaya.

Rora terdiam dengan penuturan Kak Yaya, bukan karena apa, tapi dia masih terpikir pada kalimatnya tadi.

"Kamu kenapa sih, Rora? Cerita aja," bujuk Kak Yaya.

"Nggak kenapa-napa, Kakak, jangan khawatir. Oh ya, Kakak nggak ada pasien? Ada apa ke sini, Kak?"

"Lagi sepi, pasien tadi cuma satu, pasien hipertensi. Kakak mau nanya, Kamu tahu kalau Dokter Ryas lagi dideketin sama cowo kaya yang beberapa waktu lalu berobat ke sini?"

Seketika Rora menegakan badannya yang sedari tadi terkulai. Pendengarannya belum bermasalah, dan dia dengar dengan jelas ucapan Kak Yaya.

"Beruntung sekali ya, Dokter Ryas, dapat cowo tampan, mapan dan sopan lagi,"

Rora tertegun, ada yang sesuatu yang mengganjal di hatinya.


MORNING GLORY [END] Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang