CHAPTER 15: RAWAN

10 4 3
                                    


"Dasar, Ular!"

Kak Yaya masuk ke dalam ruang program dengan wajah kesal lalu melempar pantatnya ke kursi. Semua yang berada di sana terkejut dan menatap heran ke arahnya.

"Hei, kenapa? Tiba-tiba masuk udah berubah mood begini? tanya Kak Oca.

"Iya, nih, tadi sebelum turun, masih hahahihi dia," celetuk Kak Mike.

Kak Yaya enggan cerita, dia hanya mengulum kesalnya sendiri.

"Duh, Rora, cepatlah kembali!"

***

Leo dan Pak Arkana sedang duduk di café yang berada di kecamatan sebelah. Mereka ke sana untuk membeli obat yang sudah diresepkan Dokter Ryas dan makan siang di sana.

"Dokter tadi siapa namanya?" tanya Pak Arkana.

Leo terlihat tak tertarik dan terus menyeruput jusnya.

"Ryas, ya, Ryas. Anaknya baik ya, sopan, cantik, dan sexy," ucap Pak Arkana yang sengaja menarik perhatian anaknya. Namun Leo tetap tidak menggubris dan hanya menatap papanya.

"Papa kenapa?"

"Dokter itu memang sexy, kan? Papa nggak mengada-ada. Dia juga ramah dan tak pernah berhenti curi pandang kepadamu."

"Iya, dia sexy, tapi Leo nggak tertarik. Lagian ngapain juga Papa membahasnya. Nggak ada urusan."

"Loh, kok marah?" jawab Pak Arkana menahan tawanya.

"Bukan marah, tapi malas aja bahas orang lain."

"Kalau gadis itu? Rora Glorya?"

Leo dan Pak Arkana saling beradu pandang, lalu mereka pun tersenyum. Pak Arkana dengan senyum setengah menggoda anaknya, dan Leo dengan senyum malu meow-nya.

"Dasar, bujang yang lagi jatuh cinta."

***

4 hari pun berlalu, Leo menemani papanya berobat lagi ke puskesmas. Bukan apa-apa, hanya saja itu juga sebagai alasan Leo untuk mencari tahu apakah Rora sudah kembali atau belum. Sebenarnya bisa saja Pak Arkana kembali ke kota atau meminta dokter pribadinya datang untuk memeriksanya, tetapi Pak Arkana tidak mau, karena baginya keluhannya hanya gatal-gatal biasa, dan dia juga tahu setiap kali ke puskesmas, anaknya hanya celingak-celinguk mencari Rora, gadis idaman anaknya.

"Pagi, Pak Arkana, gimana kabarnya?" Kak Yaya menghampiri Pak Arkana dan Leo yang hendak masuk ke gedung puskesmas.

"Iya, Saya mau berobat lagi. Mau konsul tentang kulit saya ini, katanya ada konsul di klinik khusus penyakit berbasis lingkungan di sini," kata Pak Arkana sambil melirik anaknya.

Kak Yaya tersenyum ceria, karena dia langsung mengerti siapa yang dimaksud Pak Arkana.

"Oh, tentu ada, Pak, konsul penyakit berbasis lingkungan seperti kulit gatal-gatal, diare, semua yang berhubungan dengan lingkungan dan sanitasi, itu akan mendapatkan konsultasi ke klinik sanitasi, Pak. Bu Rora nama tenaga ahlinya, Pak, yang biasa dipanggil Glory oleh anak, Bapak," ucap Kak Yaya sambil tersenyum menggoda Leo.

Pak Arkana melihat ke arahnya, lalu tertawa menghilangkan canggungnya di depan Kak Yaya.

"Tapi, Pak, Roranya belum masuk kerja. Dia cuti selama seminggu," jelas Kak Yaya.

"Tapi bukannya ini sudah hampir dua minggu, Kak?" tanya Leo.

"Pagi! Eh ada papa di sini," Dokter Yaya tiba-tiba datang di tengah pertanyaan Leo yang belum terjawab.

Kak Yaya hanya tersenyum menutupi rasa tidak nyamannya.

"Eh, Dokter Ryas," Pak Arkana tersenyum dan menerima uluran salam dari tangan Doter Ryas.

"Panggil 'Ryas' aja, Pa. Bang Leo, Papa kenapa lagi? Obat yang diresepkan sudah habis atau bagaimana?" tanya Dokter Ryas dengan ekspresi khawatirnya.

Kak Yaya memutar matanya, merasa bahwa sikap Dokter terlalu berlebihan.

"Oh, ya Dokter Ryas, pasien sudah banyak yang menunggu sedari jam 7 tadi, silakan segera ke poli ya, Dokter. Kasihan pasien udah menunggu lama," ucap Kak Yaya dengan wajah serius.

Dokter Ryas melirik sinis dengan cara elegan ke arah Kak Yaya, Pak Arkana hanya melihat Leo yang mengode untuk pulang.

"Kalau begitu Saya pergi dulu. Saya dan anak saya, Leo ada urusan mendadak di lokasi proyek."

Kak Yaya berubah tersenyum dan hendak menjawab, tetapi didahului oleh Dokter Ryas.

"Atau begini saja, Pa, bagaimana kalau nanti sepulang kerja, Ryas ke rumah Papa untuk mencek kondisi kulit dan kesehatan Papa? Nggak apa, Ryas juga senang bisa membantu."

"Dia yang nanya, dia yang jawab."

"Oh, tidak perlu repot-repot, Ryas."

Seketika Leo menatap papanya dengan wajah tak terdefinisi oleh Pak Arkana.

"Kenapa nih anak?" gumam Pak Arkana dalam hati.

"Nggak apa, nanti Ryas ke rumah ya, sore sudah ada di rumah kan? Bang Leo, papanya istirahat saja di rumah ya, kasihan," Dokter Ryas terlihat seperti anak perempuan Pak Arkana. Sedangkan Leo hanya tersenyum canggung.

"Emangnya, Dokter Ryas tahu di mana rumah Pak Arkana?" tanya Kak Yaya selidik.

Dokter cengengesan, "Wajar dong tahu di mana rumahnya Pak Arkana, semua orang juga tahu."

"Tapi aku tidak," jawab Kak Yaya gambling.

"Kalau begitu, Kami permisi," ucap Leo berusaha sopan, dan mengode Papanya untuk segera pergi.

Di perjalanan pulang, Leo melirik papanya. Pak Arkana yang tahu sedang dilirih anaknya, pun memandang ke arah anak bujangnya.

"Apa?" tanya Pak Arkana.

"Oh, tidak perlu repot-repot, Ryas." Leo menirukan cara bicara papanya dengan nada ngledek.

Pak Arkana pun tertawa melihat tingkah aneh Leo.

"Oh, jadi Kamu menatap papa tadi karena ini? Apa yang salah dengan memanggil namanya? Dia yang minta." Pak Arkana hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sejak kapan kalian terlihat dekat seperti itu? Papa harusnya dekat dengan Gloryku, Pa."

"Iya, Papa ngerti. Dia hanya berusaha sopan kepada papamu ini, biarkan saja."

***

Jam pelayanan telah berakhir, Dokter Ryas menatap Kak Yaya yang sedang sibuk merapikan meja perawatnya.

"Kita ada masalah ya,"

Kak Yaya yang mendengar pun memandang Dokter Ryas, karena dia bisa tahu kepada siapa lagi Dokter Ryas mengajak bicara di ruangannya kalau bukan kepada dirinya.

"Maksudnya?" tanya Kak Yaya heran.

"Kok sepertinya Kakak kurang senang sama aku?"

"Loh, kok tiba-tiba begini? Aku nggak ada masalah apapun sama siapapun kok."

"Aku nggak bodoh loh," ucap Dokter Ryas ketus.

"Iya, Saya tahu Kamu pintar, Dokter, tapi bukan itu jawabannya. Kamu saja yang mungkin salah mengartikan cara bicaraku."

"Oh, begitu, baguslah," ucap Dokter Ryas datar.

"Aku harap hubungan kita bisa terjaga dengan baik ya, karena kita satu ruangan. Nggak enak kalau kerja ada konflik."

"Nih anak, bacotnya sok bijak tapi bikin kesal. Manipulative banget."

Dokter Ryas berjalan hendak ke luar dari ruang pelayanan.

"Oh ya, Dokter Ryas, mumpung kita lagi ngobrol seperti ini, aku harap ke depannya dokter juga bisa mengubah cara bicara dokter ya,"

"Maksudnya?"

"Lain kali, kalau ajak orang lain bicara, sapa namanya, setidaknya kalau ngomong ada ujungnya ya, dokter."

Dokter Ryas hanya diam laalu melanjutkan langkahnya.

Kak Yaya terkikik menahan tawa puasnya.

"Aduh, Rora ke mana sih? Situasi lagi rawan begini, dia malah hilang kabar."


MORNING GLORY [END] Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang